TABULA RASA
Shim Changmin |
Lee Eunsook (female!Onew)
Rate: T
Genre: Drama/Angst
Warning: Dark Fic, Eunsook POV, Typo, OOC, Redundansi,
pemborosan dan segala error kata yang lain (efek hiatus
berkepanjangan)
-------------------------------------------------------------------------------------
The scariest thing is feeling numb and feeling nothing at
all. Nothing. No ambition. No desire. No emotion. Just plain empty. More empty
than a robot.
-------------------------------------------------------------------------------------
Semua berawal dari
satu titik.
Dimana jalanan
membiaskan warna kelabu dalam redupnya langit mendung. Rintik hujan berguguran,
membasahi tanah bumi. Dan aku bersandar sendiri. Orang-orang lalu lalang tak
acuh di sekitar halte. Sebuah suasana individual yang begitu nyata. Anehnya,
aku nyaman dengan hal itu. Sungguh introvert.
Dan di dalam
kegamangan sunyi itu, terdengar suara langkah kaki yang begitu samar.
Sesosok namja berdiri
tepat di sampingku.
Ia turut bersandar.
Air mukanya tak menandakan adanya riak ekspresi. Mulutnya bungkam, matanya
statis. Kedua tangannya terselubung di balik saku. Ia pun menanti bus, sama
halnya dengan diriku.
Sebagian surai
ravennya tampak basah terkena air hujan, namun dibalik itu, ketampanannya tak
pudar sedikitpun. Aku terpaku. Sepertinya, ia memiliki beberapa kesempurnaan
fisik yang kuidamkan.
Kami terus terdiam
dalam keadaan itu. Sesekali kulirik sosoknya. Ia tampak memperhatikan
gadgetnya. Aku pun mengcopy tindakannya untuk mengurangi hawa canggung.
Aktivitas seperti ini sudah wajar terjadi di jaman sekarang. Dimana gadget
nampaknya lebih menarik daripada memulai percakapan empat mata. Ironis.
Dan bus pun hadir
memecah penantian kami.
Namja raven itu segera
menaikinya. Aku turut melangkah dalam diam di belakangnya. Kami pun terduduk di
kursi yang terpisah. Secercah harapan menguar dalam hati.
‘Akankah aku dapat melihatnya lagi setelah ini?’
-------------------------------------------------------------------------------------
Kehidupan sangatlah
sulit. Terutama untuk para individu yang tergerus dengan cobaan yang begitu
berat.
Aku merupakan salah
satu dari individu itu. Aku merupakan salah satu yang tertimpa nasib kurang
beruntung. Bukannya aku tak mensyukuri keadaanku. Aku yakin, banyak yang
kondisinya lebih sulit dariku. Aku tahu itu.
Namun, aku hanya ingin
menjabarkan sedikit keadaanku saat ini.
Sebatang kara. Tulang
punggung keluarga. Sesosok kakak dengan empat orang adiknya. Hidup sendiri
dalam lilitan hutang dan keterbatasan finansial.
Sebuah bentuk kondisi
sulit yang klise. Namun, aku takkan mengeluh hal itu. Aku justru sedikit bangga
karena aku terbentuk sebagai sesosok gadis yang cukup mandiri dan mampu
mengurus dirinya sendiri.
Aku memiliki empat
adik. Adik laki-lakiku Jonghyun yang kini menempuh kuliahnya sebagai mahasiswa
teknik. Lalu adik perempuanku Gweboon yang juga masih berjuang di dalam bangku
SMAnya. Sama halnya dengan Minho yang hanya terpaut setahun dari Gweeboon.
Belum lagi dengan adik termudaku Taemin yang juga masih berada di bangku
sekolah dasar.
Dan di usiaku yang
sudah menginjak 25 tahun ini, aku harus menghidupi mereka semua.
Orang tua kami sudah
berpulang ke sisi Tuhan. Seonggok penyakit kronis merenggut nyawa mereka.
Sebuah amanah untuk menjaga adik-adikku telah dilimpahkan padaku. Dan terus
kuperjuangankan amanah itu untuk membahagiakan mereka di sana hingga detik ini.
Dan atas keadaan
itulah, sebuah keadaan lain hadir menimpahku.
Sebuah keadaan yang
tak pernah kuduga sebelumnya.
-------------------------------------------------------------------------------------
“Eunsook-ssi.”
Jung Yunho—seorang Art
Director yang sudah sangat berpengalaman di bidang grafis—tampak memberiku
sebuah draft briefing. Dong Bang Shin Ki atau yang biasa disebut sebagai Agensi
Marketing Digital DBSK adalah sebuah agensi yang bergerak dibidang advertising
grafis dan melayani konsultasi marketing untuk perusahaan-perusahaan besar di
Korea Selatan.
Dan aku Lee Eunsook.
Di usiaku yang menginjak 25 tahun ini telah bekerja lebih dari 3 tahun dalam
agensi DBSK. Passionku dalam seni berhasil membuatku menjadi seorang Designer
Grafis yang cukup handal. Kemampuan ilustrasiku juga tak bisa diremehkan.
Bakatku sungguh tak mampu dielakkan lagi.
Dengan teliti, Jung
Yunho menjabarkan projek barunya. Kali ini pembuatan Website Microsite untuk
agensi YG Entertainment. Dengan diriku sebagai Designer utama dan Jessica
sebagai asisten, kami pun terlarut dalam detil perencanaan konsep yang hendak
diaplikasikan.
Dan di tengah genangan
masa itu.
Aku kembali
melihatnya.
Surai raven yang
menutupi sebagian kelopak matanya. Iris legam statis yang terlihat begitu
kosong. Garis mulut yang terkatup rapat tanpa kata.
Namja itu.
Namja yang ada di
halte bus waktu itu.
Ia melangkahkan
kakinya. Perlahan melewati ruanganku.
Napasku terhenti untuk
sesaat. Genangan waktu seolah terhambat mengalir. Aku sedikit tercengang.
‘Untuk apa namja itu berada disini?’
-------------------------------------------------------------------------------------
“Namja berambut
raven?”
Jessica mengerutkan
alisnya. Matanya skeptis menatapku. Seakan-akan ia menganggapku tak berakal.
Bungkamku pun penuh dengan persistensi.
“Hampir sebagian dari
karyawan kita berambut raven. Tapi namja bertubuh tinggi berwajah tampan? Aku
tak pernah melihatnya. Dan sepertinya, tidak ada karyawan baru di tempat kita.”
Penjelasan itu membuatku tak puas. Aku yakin, kedua mataku tak salah lihat. Jelas-jelas
namja raven tadi adalah namja yang sama seperti di halte waktu itu. Tapi
mengapa Jessica mengguratkan hal yang kontradiksi?
Kuputuskan untuk
berhenti berdebat. Atensiku kembali mendarat pada hamparan layar laptopku.
Kepalaku terasa sedikit pusing. Entahlah, mungkin rasa lelah telah membuatku
berhalusinasi.
Ya, benar…
Aku pasti hanya
berhalusinasi.
Detik jam pun
menunjukkan pukul dua siang dan akupun kembali berkutat pada pekerjaanku.
Melupakan sejenak persoalan mengenai namja misterius itu.
-------------------------------------------------------------------------------------
Gerimis…
Langit kembali
merintikkan tangisnya.
Kulangkahkan kedua
kakiku di tepian jalan. Payung hitam yang kubawa tetap setia menjadi
perteduhanku. Lagi-lagi mendung menyelimuti langit. Hawa dingin yang menusuk
raga membuatku merasa nyaman meski sedikit menggigil.
Suasana seperti ini
membuatku kembali termenung.
Adik-adikku.
Kehidupanku. Dan takdirku.
Semuanya terus
kurenungkan secara retoris dan berulang. Meski aku memiliki tujuan hidup, entah
mengapa, terkadang aku merasa terjebak ke dalam titik kosong. Sebuah titik
dimana tak ada satupun persepsi ataupun pemikiran yang mampu mempengaruhiku.
Satu titik dimana aku merasa begitu sendiri. Tak berwarna. Hampa. Dan mungkin
apatis.
Satu titik dimana aku
tak merasakan apapun.
Dan di saat itulah,
bibirku tak mampu mengucapkan sepetik kata pun. Aku hanya terdiam, membungkam
diri. Sampai pada dimana ada sebongkah dinding dan aku bersandar sejenak
padanya. Gerimis telah terhenti sepenuhnya. Namun, aku masih enggan menutup
payungku.
Deus ex Machina…
Kembali… datang. Ia
kembali datang padaku.
Namja raven misterius
itu.
Ia berdiri tepat di
hadapanku.
“Siapa kau
sebenarnya?”
Pertanyaan itu
tergurat dengan sendirinya. Semakin lama, aku merasa dipermainkan.
Keberadaannya membuat kepalaku sakit. Dan namja bersurai raven itu hanya
menatapku dalam diam.
Tik. Tik. Tik.
Dan langit kembali
merintikkan mineralnya. Namja itu masih saja berdiri tepat di hadapanku. Tak
bergeming sedikitpun. Surainya perlahan basah akan air hujan yang mulai
melebat.
Ia menatapku begitu
dalam.
Hatiku pun tergetar
hebat.
“Sookie…”
Kedua kakiku melangkah
begitu jauh. Berlari. Terus berlari sampai aku tak lagi menatap sosoknya. Terus
berlari sampai kedua kakiku terasa sakit. Terus melarikan diri sejauh mungkin.
Dan namja itu hanya terdiam menatap kepergianku. Jantungku berdebar kencang.
Peluh membasahi pelipisku. Nalarku meracau gamang.
Entah mengapa, aku
merasa takut.
Takut dengan…
eksistensinya.
-------------------------------------------------------------------------------------
“Eonni, Apa kau
baik-baik saja?”
“Ne?” Gweebon tampak
cemas. Aku menggelengkan kepala dan mencoba untuk tersenyum tipis. Adik
perempuanku masih skeptis tentu saja. Aku bahkan tak sadar jika tingkah lakuku
mulai mengundang bara kecurigaan.
“Semenjak tadi kau
terlihat melamun dan diam saja. Apa kau sakit?” Dengan sigap, Gweeboon
menyentuh dahiku. Aku kembali menggelengkan kepala meyakinkan.
“Aku tak apa-apa, Gwe.
Jangan khawatir. Mungkin hanya sedikit lelah.”
“Kalau begitu,
segeralah beristirahat.”
“Ne.” Tanpa basa basi,
kuturuti permintaan adikku dan segera menuju ke dalam kamar. Tampak Jonghyun
adik laki-lakiku yang begitu giatnya mengerjakan tugas kuliah. Minho dan Taemin
tertidur di sofa ruang tengah. Sungguh menyenangkan. Aku sangat menyayangi
mereka semua.
Hanya mereka
satu-satunya tujuan dan harapan hidupku saat ini.
Meski pada dasarnya
aku paham bahwa terkadang, tubuh ini lelah dan membutuhkan tempat untuk
bersandar.
Jemariku lantas
membelah tirai mutiara yang membentengi pintu kamarku. Kurebahkan tubuhku di
hamparan ranjang dan kupejamkan mata untuk sesaat. Kepalaku kembali terasa
pening.
“Dingin…”
Suasana kamar perlahan
menusuk. Hujan. Lagi-lagi langit malam menitikkan air dari balik jendela.
Kutarik selimutku dan menangkupkannya pada ragaku. Pandanganku berkunang.
Panorama di sekeliling seakan berputar cepat.
Abu-abu. Hitam. Putih.
Kosong.
Apa yang kulihat
tampak seperti pusaran blur. Terus berputar hingga tak menampakkan apapun.
Ragaku semakin lemas. Suara tapak kaki terdengar semakin dekat. ‘Gwe apakah itu kau?’ nalarku mencoba
menebak dan benar saja spekulasi asalku itu.
Sudah ada Gweebon yang
berdiri di dekat pintu kamarku. Wajahnya cemas.
Perasaan lega
membasuhku sepenuhnya. Di saat seperti ini, tak ada yang lebih menenangkanku
selain hanya eksistensi adik-adikku. Ah, Gwe pasti khawatir lagi melihatku.
Melihat kakaknya yang aneh ini. Aku harus segera meyakinkan bahwa aku baik-baik
saja. Kakak macam apa yang tega melihat adiknya khawatir setengah mati?
Secara perlahan, aku
pun beranjak dari ranjangku. Seperti biasa, aku akan memasang topeng baik-baik
saja dengan senyum klise yang sama. Sebuah senyum yang sukses mengikis
kecurigaan yang dipendam adik-adikku selama ini.
Namun, belum sempat
aku melayangkan topeng palsuku itu…
Ia tersenyum.
“Sookie-eonni…” sahut
Gwe sembari tertawa. Tak lama kemudian tampak Jonghyun di belakangnya dan ia
pun tersenyum padaku. Minho dan Taemin juga turut terbangun dari tidur mereka
dan melayangkan tatapan tawa padaku. Mungkin mereka menganggapku lucu. Suara
tawaku pun turut membaur dengan mereka.
“Hahaha! Aku tak tahu
dengan apa yang kalian tertawakan padaku. Baiklah, silahkan tertawa.” Aku terus
tertawa kecil. Senang rasanya menatap raut ceria di wajah adik-adikku. Namun,
entah mengapa semakin lama, semuanya semakin ganjal.
Tak mau berhenti.
Mereka tak
henti-hentinya tertawa.
Bahkan, suara tawa itu
mulai terdengar seperti… hinaan.
“A-Apanya yang lucu?”
“HAHAHAHA!”
Suara tawa Gwe semakin
memekakkan telingaku. Terus mendengung tanpa henti. Semakin keras. Semakin
terdengar menghina. Ragaku gemetar. Aku tak sanggup lagi mendengarnya.
“M-Mengapa kalian
semua tertawa? Apanya yang lucu! KATAKAN PADAKU, APA YANG LUCU!”
“Hahahahahaha!”
“Hihihihi!”
“HAHAHAHAHAHAHA!”
Jonghyun melempar
pandangan sinis. Bahkan Minho dan Taemin seolah jijik melihatku. Gwe terus saja
tertawa sarkas. Aku sungguh tak mengerti apa yang terjadi. Mengapa adik-adikku
sendiri memperlakukanku seperti ini? Apa salahku?
“H-Hentikan…”
“HAHAHAHAHAHAHA!”
“KUBILANG HENTIKAN!
BERHENTILAH TERTAWA!” Aku menjerit nanar. Kepalaku terasa sakit dan ragaku pun
tersungkur lemas ke hamparan lantai. Aku tak sanggup lagi mendengar semuanya.
Air mataku perlahan menetes. Napasku terputus-putus. Dada pun semakin terasa
sesak.
“H-Hentikan… K-Kumohon
hentikan…” Aku memohon lirih. Pandanganku kembali menjadi blur. Nalarku seakan
mengosong. Aku sungguh tak mengerti, apa yang sudah terjadi sebenarnya?
Semuanya begitu aneh. Semuanya begitu tak masuk akal.
Dan di tengah ketidakwajaran
itu, hal aneh terjadi padaku.
Sepasang tangan
mendekapku dengan erat.
Ada seseorang di
belakangku.
Begitu hangat. Dekapan
itu begitu hangat dan menenangkan.
‘K-Kau…’ belum sempat
nalarku mencerna realita yang sudah terjadi, semuanya menjadi gelap. Pada
akhirnya, adik-adikku berhenti tertawa.
Namja raven misterius
itu masih terus memelukku.
Dan aku pun terlelap
dalam dimensi yang… berbeda.
-------------------------------------------------------------------------------------
“Sookie, kau tampak
begitu pucat. Apakah kau baik-baik saja?”
Pagi itu, Jessica
begitu khawatir. Aku hanya terdiam sembari menatap hamparan laptopku. Rautku
pucat, aku sadar akan hal itu. Aku sendiri bahkan tak yakin, jika aku baik-baik
saja saat ini.
“Minumlah. Sepertinya
kau tak enak badan.” Jessica menyodorkan secangkir teh hangatnya padaku. Aku
hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kutengguk sedikit tehnya dan
kuhela napas panjang. Aku masih tak paham dengan kejadian semalam. Adik-adikku
bertingkah normal. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Dan kuputuskan untuk
tak mengungkit kejadian itu pada mereka.
“Deadline projeknya
hari ini. Apa kau yakin kau sanggup menyelesaikannya?” Pertanyaan retoris
Jessica membuatku sedikit ragu. Dengan keadaanku yang seperti ini, aku tak
yakin akan dapat menyelesaikannya. Akupun enggan jika harus lembur semalaman.
Aku hanya ingin pulang ke rumah dan segera tertidur.
Jemariku terus
menggerakkan mouse. Membuat sebuah path untuk ilustrasi Microsite yang hendak
kudesain. Entah mengapa, di hari itu tak ada yang menyalakan musik sama sekali.
Suasana ruangan menjadi begitu sunyi dan sepi. Detak jam berdentang nyaring.
Rasanya semakin hampa. Beberapa karyawan terlihat melangkahkan kaki keluar
ruangan.
Satu. Dua. Tiga hingga
sepuluh orang menapakkan kaki keluar ruangan tanpa alasan.
Hingga tersisa diriku…
sendiri.
Sendiri.
Ya, aku sendirian
sekarang. Tanpa ditemani siapapun. Hanya ada suara jarum jam berdentang klise
yang sesekali menyadarkanku dari dimensi lamunan. Aku tak bergeming dan terus
berfokus pada layar laptopku. Kucoba untuk tak banyak berpikir. Karena perasaan
negatif selalu saja menantiku dalam keadaan tak berdaya untuk dapat dikuasai.
Dan semakin lama, aku
merasakan realita yang begitu ganjal.
Sepasang mata obsidian
memperhatikanku. Ia terduduk di sana. Tepat di depan meja kerjaku.
“Kau lagi…”
Namja itu.
Namja berambut raven
misterius itu hadir lagi di hadapanku. Ia hanya terdiam dan menatapku dengan
lekat.
Tak acuh, aku pun mencoba untuk mengabaikan eksistensinya. Jantungku berdebar
keras. Mati-matian kutekan rasa takutku. Jemariku tak terkendali. Path yang
kubuat pada layar laptop semakin salah tak tentu arah. Peluh mengalir di
pelipisku.
“Mengapa kau selalu
hadir di hadapanku?”
Ia masih tetap bungkam
mendengar pertanyaanku dan menyilakan kedua tangannya di dada. Sejatinya, ia
memiliki rupa yang begitu tampan. Tak ada sesuatu yang mengerikan darinya.
Namun, entah mengapa perasaan takut itu terus saja meracuki nalar. Aku pun
terdiam sejenak sebelum pada akhirnya berucap lirih.
“Terima kasih… untuk
semalam.”
Ia sepertinya paham
akan maksudku. Dan tak perlu kupertanyakan lagi, sudah pasti ialah yang semalam
menolong dan mendekapku. Ia hanya terdiam hingga pada akhirnya, seutas senyum
tipis menghiasi paras tampannya. Ia tersenyum lembut padaku. Aku terhenyak
melihat itu.
Tersenyum.
Pada akhirnya aku
turut membalas senyuman itu.
Dan kami pun kembali
terdiam hingga tak terasa sudah berapa lama kami menghabiskan waktu berdua saja
di kala itu.
-------------------------------------------------------------------------------------
Seoul seolah terus
saja digerus oleh hujan dan gerimis kecil.
Sudah lama aku tak
menatap langit cerah dengan pijarnya cahaya mentari yang menerpa parasku. Sudah
lama aku tak mendengar kicauan burung yang menyanyikan senandung musim panas.
Sudah lama aku tak melihat anak-anak kecil berlarian di taman dan meniup balon
sabun mereka. Sudah lama sekali segenap keceriaan itu sirna.
Hanya mendung dan
langit gelap yang selalu saja mewarnai panorama kota.
Payung hitamku.
Payung hitam yang
setia melindungiku dari rintik hujan. Ia bagaikan sesosok sahabat tempatku
berteduh. Ialah saksi dimana jalanan semakin tampak kelabu dan segenap warna
yang ada mulai luntur tergantikan dengan hitam dan putih. Ya, benar. Mataku tak
lagi menatap adanya warna yang berbeda. Semuanya sama, Hanya ada hitam dan
putih. Hanya ada kelabu dan gelap.
Semuanya tampak sama.
Hampa dan monoton.
Bahkan orang-orang
yang berlalu lalang di sekitarku tampak berjalan begitu lambat. Mereka berjalan
dengan sangat pelannya. Saling tak acuh dan mengabaikan satu sama lain. Begitu
individualis. Seolah mereka adalah makhluk tak berhati.
Dan aku pun berdiri di
tengah-tengah semua itu.
Aku berdiri di tengah
kekosongan itu.
Aku tertunduk diam.
Aku tak pernah merasa
sesendiri ini.
-------------------------------------------------------------------------------------
“Sookie-eonni, apa
yang kau gambar itu?” Gwe menautkan kedua alisnya saat menatap sketsa sesosok
namja yang telah kulukis. Namja berambut raven dengan wajah yang begitu tampan.
Tubuhnya atletis dan tinggi. Ia juga memiliki senyum yang menawan.
Sungguh sempurna.
“Tampan sekali. Apakah
dia namjachingumu, Eonni?” Aku hanya tersenyum mendengar itu. Jemariku terus
mengarsir untaian rambut ravennya secara perlahan. Mencoba menyempurnakan
warnanya. Entah mengapa, aku ingin sekali mengusap rambutnya. Surai hitam pekat
itu terlihat begitu lembut dan indah. Bahkan terlihat lebih halus jika
dibandingkan dengan rambutku.
“Siapa namanya? Ah,
curang. Kau tak pernah mengenalkannya pada kami, Eonni.” Gwe mengerucutkan
bibirnya. Aku terus saja tersenyum dan lantas meletakkan pensilku. Kuperhatikan
gambaran final dari sketsaku itu. Sangat sempurna. Ia sungguh begitu tampan.
“… Changmin.”
“Eh?”
“Namanya adalah…
Changmin.” Pernyataan itu tergurat dari bibirku. Gwe tampak skeptis saat
menatapku tersenyum sendiri. Aku pun memeluk sketsaku dengan begitu erat.
Simpulan senyum terbingkai tipis di paras Gweboon.
“Sepertinya kau begitu
menyukai namja itu, Eonni.”
Aku tersenyum sinis.
Pernyataan macam apa itu? Semuanya sudah jelas. Dan Gwe pun tampak syok saat
kuguratkan sebuah alasan dengan nada yang begitu menusuk.
“Tentu saja aku sangat
menyukainya. Ialah yang mendekapku di saat kalian semua… menertawakanku.”
‘Dan ia… selalu
ada untukku.’
-------------------------------------------------------------------------------------
“Apa kau melihatnya?
Langit begitu gelap dan semuanya serba kelabu?”
“…”
“Kau pasti melihat hal
yang serupa denganku.”
Aku bersandar di
dinding halte bus. Namja itu—Changmin-ssi. Ya, benar. Aku menyebutnya dengan
nama itu. Sebuah nama yang memiliki arti permata
yang indah. Namja itu bagaikan permata untukku. Permata yang menyinarkan
cahayanya padaku. Pada gelapnya pandangan hidupku.
Changmin-ssi hanya terdiam
sembari terus menatapku dalam. Ia turut bersandar di sebelahku. Di tengah lalu
lalang orang yang tak mempedulikan kami. Payung hitam yang kubawa—kuletakkan
begitu saja di hadapanku. Sesekali percikan air hujan menerpa sedikit ke
wajahku. Aku hanya tersenyum saat Changmin-ssi mengusapnya perlahan.
“Terkadang aku merasa
semua orang menjauhiku. Adik-adikku menertawakanku. Jessica menganggapku aneh.
Semua yang melihatku begitu tak peduli.” Aku tertawa miris. Changmin-ssi tampak
menatapku dengan sendu.
“Aku merasa begitu
sendiri. Bahkan warna pun seolah meninggalkanku.”
Tanpa kata,
Changmin-ssi hanya terdiam sembari mengarahkan atensinya ke depan. Seolah ada
bara kekesalan yang terkandung dalam pancaran matanya. Ia menatap dengki pada
panorama orang-orang di sekelilingnya. Dan apa yang dirasakan Changmin-ssi
sungguh sama seperti apa yang kurasakan saat ini.
“Tapi aku senang
karena dibalik semua itu, kau akan selalu ada di sisiku, Changmin-ssi. Kau
selalu ada untukku. Kau tak akan pernah meninggalkanku.”
Jemari kami bertaut
satu sama lain. Seulas senyum lembut dilayangkan oleh Changmin-ssi. Rasa aman
seolah menghunus segenap ragaku. Mantraku sungguh absolut. Changmin-ssi adalah
milikku. Dan ia tak akan pergi meninggalkanku.
Ia akan selalu ada.
Ada dan selalu ada.
Untukku.
-------------------------------------------------------------------------------------
Hitam. Putih. Kelabu.
Kepulan asap menerpaku
dengan pekatnya. Aku mencoba berjalan sembari menatap sekelilingku. Deretan
pohon melambaikan dahan dan ranting mereka perlahan. Dedaunannya berguguran.
Hitam. Warna daunnya hitam. Semuanya kelabu. Tak ada sedikitpun panorama hijau
di sana.
Aku mulai merindukan
warna.
Semuanya begitu gelap.
Suram. Aku melangkah dengan perasaan kalut yang luar biasa. Aku tak tahu, ke
arah mana destinasiku berada. Namun yang jelas, aku tak boleh berdiam diri saja
di satu titik. Aku harus segera meninggalkan tempat mengerikan ini. Secepatnya.
Sedikit demi sedikit
aku terus melangkah melewati panorama di sekelilingku. Sampai pada sebuah titik
dimana aku menginjakkan kaki di tanah pemakaman. Kabut asap lagi-lagi kembali
menyelubungi eksistensiku. Hawa dingin menusuk raga. Kepalaku pening.
Sesungguhnya ini tempat apa?
Aku ada dimana?
“Sookie…”
“E-Eomma?” Kedua
mataku terbelalak kaget. Tak sampai beberapa jengkal, kulihat sosok ibu yang
selama ini kurindukan. Ia tersenyum lemah padaku sembari membawa sesuatu.
Sebuah boneka.
Lebih tepatnya boneka…
Marionette.
Boneka berukuran
anak-anak itu tampak dililit dengan benang yang terhubung langsung dengan jari
jemari eomma. Dengan gaya terpatah-patah, sekujur tubuh boneka itu digerakkan
seolah ia benar-benar hidup. Kedua tangan boneka itu digerakkan dengan gerakan
menari. Ia lalu didudukkan dengan kepalanya yang didongakkan.
Dan aku tak mampu
berkata-kata saat mengetahui wujud boneka marionette itu.
Tidak mungkin.
‘I-Itu a-aku…’
Sungguh tidak salah
lagi. Boneka marionette itu adalah sosokku saat masih kecil. Dengan seringai
tajam, eomma mulai tertawa dan terus memainkan boneka marionetteku. Matanya
menguarkan obsesi yang begitu mengerikan. Aku tercekat tak mampu bernalar.
“E-Eomma… A-Apa yang
kau lakukan—“
“Sookie… ayo menari. Ayunkan tanganmu. Ne! Benar, seperti
itu. Anak pintar! Hahahaha!”
Suara tawa maniak
menguar keras dari mulut ibu. Dengan pandangan gila, ia memainkan bonekaku
dengan kasar dan brutal. Aku hanya mampu menatap nanar dan takut. Apa-apaan
ini? Apakah yang kulihat ini nyata?
‘E-Eomma tak mungkin
seperti itu… t-tidak mungkin!’
Aku berlari. Kubungkam
kedua telingaku dan aku berlari secepat mungkin. Tak peduli dengan beberapa
batu nisan yang tak sengaja kuinjak. Aku terus berlari dengan perasaan tak
menentu. Suara tawa eomma terus berdengung di pikiranku.
“Sookie…”
“Sookie-eonni…”
“Hahahaha!”
“Kenapa berlari, Eonni?”
“Eonni, jangan tinggalkan kami!”
Kali ini suara
adik-adikku mulai terdengar. Tidak. Tak ada yang bisa kupercaya saat ini. Tak
ada satupun entitas yang bisa kuanggap nyata. Semuanya menyesatkan. Semuanya
seolah berbanding terbalik dan kontradiksi. Sungguh tak mungkin keluargaku
memberi perlakuan seperti ini padaku. Sungguh tidak mungkin.
Apa salahku?
Aku sudah memberikan
yang terbaik untuk mereka semua. Aku mati-matian mengemban amanah orang tuaku.
Tujuan hidupku adalah mereka.
Tapi hanya tawa hinaan
yang menjadi… balasanku.
Langkah kakiku
terhenti di jalan buntu. Sebuah pohon raksasa terlihat tepat di depan mataku.
Akar-akarnya menjalar penuh di pijakan tanah tempatku berdiri. Beberapa
kelelawar tampak bertengger di ranting-rantingnya.
Dan tepat di jantung pohon,
sebuah panorama mengejutkan membuatku menggigil takut.
Sesosok entitas manusia
dengan wujud yang begitu familiar.
Tubuhnya dililit oleh
batang dan akar pohon, seolah ia menjadi satu bagian dengan pohon raksasa itu
sendiri. Namun, yang membuatnya begitu mengerikan adalah…
Aku mengenal…
identitasnya.
“Sookie…”
“A-Appa!”
Sungguh, distopia
apalagi ini? Kini ayahku sendiri yang muncul untuk menghadangku. Ia bahkan muncul
dengan wujud yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Tangannya menjulur ke
arahku. Tangan dengan jemari sepanjang ranting pohon itu sendiri.
“Sookie… kemarilah, nak. Biarkan Appa mengusap rambutmu
yang indah itu…”
Aku menggelengkan
kepalaku dengan cepat. Pandanganku nanar. Appa melayangkan seringai tak terdefinisi.
Leherku seolah tercekik. Menjerit pun aku tak mampu. Tubuhku melemas. Tak
berdaya, lututku tersungkur ke atas tanah.
“Sookie-eonni, ayo
kemarilah. Bermainlah bersama kami. Hahahaha!” suara Gweboon memecah
kegoyahanku. Mataku terbelalak syok saat entitas adik-adikku mulai memanjat
pohon ayah. Mereka bermain-main di sana seolah ayah adalah benda mati.
“U-Uhkk… hukk…” Air
mataku tak terbendung. Dadaku semakin sesak. Telingaku serasa sakit.
Suara-suara hinaan itu tak henti-hentinya mengoyak perasaanku. Jari jemari
milik Appa kini tampak mengusap untaian rambutku. Takut. Aku sungguh ketakutan.
Percikan air pun mulai berjatuhan dari atas langit.
Hujan.
Derasnya hujan
membasahi sekujur tubuhku.
Langit pun seolah
turut menangis bersamaku.
‘C-Changmin-ssi…’
‘Changmin-ssi… tolong aku… Uhhkk…’
Hanya ada satu nama
yang kuguratkan. Satu nama yang selalu ada di saat aku membutuhkan
eksistensinya. Satu nama yang selalu memberiku perlindungan. Satu nama yang
selalu mendekapku dari segenap distopia ini.
Namja raven
misteriusku.
Pandanganku semakin
nanar. Kedua lututku tak mampu lagi menopang ragaku. Kini, sekujur
tubuhku terkulai lemas di hamparan
tanah. Aku bahkan begitu pasrah saat sosok yeoja yang mirip dengan Jessica
mulai mendekat dan menggunting paksa rambut panjangku.
Kedua iris obsidian
ini terpejam rapat.
Untuk sesaat, kurasakan
atmosfir ruang hampa yang begitu pekat. Sensasi hangat menjalar di sekujur
tubuh. Sensasi yang sama seperti saat Changmin-ssi mendekapku.
Changmin-ssi…
Ia pasti datang untuk
menyelamatkanku lagi.
“Sookie…”
Resonansi suara yang
menenangkan. Sepasang jari jemari asing mengusap rambutku lembut. Aku tahu
eksistensi ini. Eksistensi yang akan selalu ada di dekatku apapun yang terjadi.
Seulas senyum terbingkai samar di parasku.
Dan sesaat sebelum
semuanya semakin menggelap…
Sebuah ruang yang
begitu putih menusuk nalarku dan memudarkan semua distopia ini.
-------------------------------------------------------------------------------------
“Changmin-ssi…”
“Ne.”
“Kau akan selalu bersamaku bukan?”
“…”
“…”
“Tentu saja.”
“…”
“Karena eksistensiku tercipta… hanya untukmu.”
-------------------------------------------------------------------------------------
“S-Sookie, kau
kenapa?”
Bara kedengkian
menghunusku tatkala Jessica menanyakan keadaanku. Yeoja yang sudah 2 tahun lamanya
menjadi asistenku itu—seakan takut melihatku. Wajar jika ia menampakkan reaksi
seperti itu. Baru kali ini ia melihatku dengan amarah yang begitu memuncak.
“Apa yang kau lakukan
dengan gambar sketsaku itu, hah!”
“S-Sookie, aku hanya
ingin melihat gambarnya saja—“
“Cepat kembalikan
padaku!” bentakanku begitu keras hingga beberapa orang di dalam ruangan
terkejut dan menatap ke arahku. Persetan. Aku sungguh tak peduli. Yang
terpenting untuk saat ini adalah, Jessica segera mengembalikan sketsa Changmin-ssi
padaku.
Dengan sedikit takut,
Jessica segera menyodorkan buku sketsaku. Kutarik dengan paksa dan kuselipkan
ke dalam tas ranselku. Jessica masih tampak tak percaya dengan apa yang sudah
terjadi. Sahabat baiknya—Lee Eunsook yang dikenal sebagai yeoja baik-baik dan
lembut—tak mungkin berperangai kasar seperti ini? Cih. Sungguh naïf.
“Aku hanya melihatnya
sebentar saja Sookie. Mengapa kau begitu marah? Aku tak akan mencurinya darimu.
Aku hanya mengagumi gambaranmu saja—“
“Mengagumi? Mengagumi
kau bilang?” Seringai sarkas. Aku menahan diri untuk tak melontarkan sumpah
serapah. “Ya, benar. Kau mengaguminya. Lebih tepatnya, kau kagum dengan namja
yang menjadi model sketsaku itu.”
“A-Apa maksudmu? Aku
memang kagum dengan namja yang menjadi modelmu. Gambarannya sungguh sempurna—“
“Sangat sempurna.
Bahkan terlalu sempurna hingga kau mungkin tak segan-segan akan merebut namja
ini dariku.”
“Sookie, apa yang
sudah kau katakan itu!” Jessica semakin histeris. Ia tak menyangka bahwa
kalimat seperti itu bisa meluncur keluar dari mulutku. Pertikaian kami membuat
segenap orang dalam ruangan bungkam. Tak ada yang berani membarakan intervensi
dan menengahi kami. Sepertinya mereka ketakutan. Atau lebih tepatnya…
Mereka takut denganku.
“Kau ingin tahu, siapa
namja yang ada di sketsaku ini? Apa kau ingin tahu, eh Jessica?”
“S-Sookie, aku—“
“Dia adalah Changmin-ssi.
Namja yang saat itu kuceritakan padamu. Aku curiga, jangan-jangan selama ini
kau sudah tahu mengenainya. Saat itu kau pasti sudah melihatnya ‘kan?” Kedua
mata Jessica terbelalak lebar.
“Demi Tuhan, Sookie!
Aku tak pernah melihatnya! Aku benar-benar tak pernah melihat—“
“Cih! Alasan! Kau
pasti sengaja menyembunyikan semuanya dariku! Kau pasti ingin memiliki
Changmin-ssi!”
“Sookie, tenangkan
dirimu—“
“DIAM! AKU TAK BUTUH
DITENANGKAN!” Bentakanku membuat semuanya semakin takut. Jung Yunho art
director kami—yang baru saja memasuki ruangan, bahkan tampak terhenyak tak
percaya.
“Astaga! Jessica,
Eunsook. Ada apa ini? Kenapa kalian marah-marah?” Pertanyaan itu membuat kami
terdiam. Menatap raut pucat Jesicca, Yunho pun melayangkan pandangan skeptis
padaku.
“Eunsook, mengapa kau marah-marah
sampai seperti itu?”
“Apa pedulimu padaku,
Yunho-ssi?” Nada sarkas menguar dari mulutku. “Apa peduli kalian semua padaku?”
“Sookie… apa yang
sudah terjadi padamu?” Jessica meneteskan air mata. Ia begitu syok menatap
perubahan sikapku. Yunho dan segenap orang di dalam ruangan juga menampakkan
reaksi yang sama. Seolah yang mereka lihat saat ini bukanlah diriku yang
sesungguhnya.
“Selama ini, aku
selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk kalian semua. Tapi apa yang
kudapatkan dari kalian? Kalian semua tak acuh. Kalian semua selalu pergi
meninggalkanku sendirian di sini. Kalian semuanya sama. Sama-sama tak memiliki
hati!”
“Sookie, sebenarnya
apa maksudmu. Kami tak pernah meninggalkanmu sendiri di sini!”
“Omong kosong!” Aku
menjerit persisten. “Kalian semua selalu melangkah keluar meninggalkanku
sendirian. Bahkan sampai malam pun kalian tak pernah kembali!”
“Apa yang kau katakan!
Aku bahkan selalu duduk di sampingmu, Sookie!” Jessica mengintervensi. “Aku dan
semua orang di sini tak ada yang pernah meninggalkanmu sendirian!”
“Bullshit.” Aku tertawa sarkas. Semuanya hanya pendusta. “Suara
tapak kaki kalian yang melangkah pergi meninggalkanku, bahkan masih menggaung
keras di telingaku.”
“Sookie…”
“Kalian semua
pembohong. Kalian semua tak memiliki hati. Hanya mementingkan diri sendiri.”
“…”
“Sungguh… egois.”
Hening.
Tak ada lagi yang
berani melontarkan sanggahan. Semuanya terdiam dengan pandangan kaget. Menyela
sungguh percuma. Aku takkan pernah sudi mendengar siapapun. Aku tak sudi
mendengar penyangkalan para pendusta. Mereka semua sudah asing untukku. Aku tak
mengenal mereka.
Dan mereka mungkin
juga sudah tak mengenalku lagi.
Di ujung ruangan,
tampak Changmin-ssi yang bersandar, menyilakan kedua tangannya. Ia tersenyum lembut padaku. Aku pun membalas senyuman itu dengan
intensitas kelembutan yang sama. Ya, benar. Hanya Changmin-ssi saat ini yang
bisa kupercaya. Ialah yang selalu menolongku. Ialah yang selalu menemaniku.
Hanya ia yang mampu memahamiku.
Hanya Changmin-ssi.
Hanya Changmin-ssi seorang.
-------------------------------------------------------------------------------------
“Sepertinya memang ada
yang aneh dengan Sookie-eonni akhir-akhir ini.”
Jessica hanya terdiam
mendengar kesaksian Gweboon. Seperti yang sudah ia prediksi, bukan hanya ia
saja yang memiliki firasat aneh. Gweboon yang merupakan keluarga terdekat tentu
lebih mengerti persoalan yang sebenarnya. Itulah sebabnya, ia mendatangi rumah sang
sahabat untuk
mengklarifikasi semuanya.
“Eonni sepertinya
begitu terobsesi dengan namja yang ada di sketsanya itu. Kalau tidak salah,
namanya Changmin.”
“Apa kau pernah
bertemu dengan namja itu, Gwe?” Jessica menautkan kedua alisnya saat Gweboon
menggelengkan kepala.
“Tidak. Aku belum
pernah bertemu dengan namja itu sebelumnya. Aku pernah meminta Sookie-eonni
untuk mengenalkannya padaku. Tapi ia hanya diam saja dan hanya tersenyum.”
“Ah, begitu. Waktu itu
juga, ia bersikeras padaku bahwa namja ini pernah ada di kantor. Aku juga tak
pernah melihatnya. Tapi Sookie tak percaya padaku.” Jessica tampak merenung.
Dan Gweboon mendadak teringat akan satu hal yang begitu krusial.
“Yang paling
mengejutkanku adalah, saat Sookie-eonni mengatakan bahwa aku dan saudara-saudaraku
yang lain pernah menertawakannya.”
“Menertawakannya?”
“Ne. Padahal, kami tak
pernah menertawakannya sedikitpun. Dan lagi, ia mengatakan bahwa namja itulah
yang selalu ada di dekatnya saat kami menertawakannya. Kami bahkan tak pernah
melihat namja itu sama sekali.”
Kesaksian itu semakin
menambah misteri yang ada. Jesicca skeptis. Berbagai spekulasi meracuki
nalarnya. Sahabatnya itu bahkan juga sempat mengatakan bahwa segenap orang di
kantor—termasuk dirinya—juga selalu pergi meninggalkannya sendiri. Padahal, tak
pernah sekalipun para karyawan keluar dari ruangan secara bersamaan dalam
jumlah besar dan untuk waktu yang lama. Hal seperti itu sangat tak rasional
untuk dilakukan dalam jam kerja.
Tapi entah mengapa,
sang sahabat seolah melihat realita yang kontradiksi.
“Jangan-jangan namja
itu hanya… halusinasi eonni saja atau mungkin hantu?” Gweboon berspekulasi.
Jessica mengangguk affirmatif.
“Bisa jadi seperti
itu. Mungkin saja namja itu memang makhluk tak kasat mata yang sering
menghantui Sookie.”
“Kalau begitu, kita
tinggal mengusirnya saja kan? Namja itu maksudku.” Usul Gweboon menghasilkan
solusi yang senada dengan Jessica. Jika memang penyelesaiannya sesimpel itu,
mungkin sahabatnya bisa kembali seperti semula.
“Kau benar, Gwe. Mungkin,
pengaruh negatif namja tak kasat mata itu bisa dihilangkan dengan cara
mengusirnya dan menjauhkannya dari Sookie—“
“Apakah jawabannya
memang semudah itu?”
“Jonghyun-ah?” Gwe
mengerutkan dahinya saat Jonghyun menapakkan kaki mendekatinya. Sepertinya, kakak laki-lakinya itu sudah mendengar segenap
percakapannya dengan Jessica.
“Apakah kalian yakin
jika namja itu benar-benar hantu?”
“Apa maksudmu,
Jonghyun-ah? Mengapa kau berkata seperti itu?” Gweboon skeptis. “Sudah jelas
‘kan? Sudah pasti semua ini ulah hantu? Atau roh, arwah, apapun itu. Ia pasti
sudah memberi pengaruh negatif pada Sookie-eonni.”
“Kurasa… tidak seperti
itu.”
“Mwoh?” Denialisasi
Jonghyun semakin mengundang tanda tanya. Jessica pun lantas menyahut singkat.
“Menurut pendapatmu sendiri bagaimana, Jonghyun-ah?”
Jonghyun terdiam
sejenak. Mahasiswa teknik itu lantas terduduk di sofa tepat di samping Gweboon.
“Kurasa, yang aneh di sini memang berpusat pada Sookie-eonni sendiri.”
“Apa yang membuatmu
memiliki pikiran seperti itu?” sahut Gweboon skeptis.
“Payung hitam.”
“Payung… hitam?”
Jessica dan Gweboon mengerutkan dahinya. Jonghyun mengangguk mengiyakan.
“Ne. Payung hitam. Apa
kalian tak menyadari bahwa Eunsook-eonni selalu saja pergi membawa… payung
hitamnya?” Pernyataan itu membuat Jessica dan Gwe terbelalak kaget. Jonghyun
semakin beraut serius.
“Ia selalu saja
membawanya di musim panas begini. Ia selalu mengeluh bahwa langit selalu
mendung dan selalu saja gerimis. Padahal, sekarang ini kan sedang… musim
panas?”
“B-Benar juga…”
Terbelalak.
Jessica dan Gweboon
tampak terdiam untuk sejenak. Spekulasi mereka yang berfokus pada sosok
Changmin kini harus bergeser 180 derajat.
“Sudah lama sekali
Seoul tidak diguyur hujan. Setidaknya untuk enam bulan ini. Kita belum memasuki
musim penghujan. Dan jika begitu, mengapa Sookie-eonni…” Gwe tak melanjutkan
perkataannya. Tanpa dilanjutkan pun, Jessica dan Jonghyun sudah mampu menangkap
maksud yang tersirat di dalamnya.
“Apakah selama ini,
Sookie-eonni hanya… berhalusinasi?”
Sungguh ironis.
Tanpa mereka sadari,
objek yang mereka bicarakan sejatinya sudah mendengar semua itu.
Aku.
Ya, benar. Aku. Lee
Eunsook.
Aku sudah mendengar
semua itu.
Mendengar segenap
omong kosong yang sudah mereka ucapkan.
Segenap omong kosong!
-------------------------------------------------------------------------------------
‘Aku tak mungkin berhalusinasi.’
‘Sungguh tak mungkin.’
‘Mereka semua pendusta.’
‘Mereka semua egois.’
Aku berlari secepat
mungkin. Sejauh mungkin. Jauh dari keluarga dan temanku. Aku berlari tak tentu
arah. Tak peduli meskipun hujan menghantam sekujur tubuhku. Tak peduli meskipun
hati ini terluka tiap langkahnya. Tak ada satupun yang percaya padaku. Tak ada
satupun yang percaya bahwa apa yang kulihat nyata adanya.
Tak ada yang percaya.
Mereka tak akan pernah
bisa memahami apa yang kurasakan. Itu karena mereka tak pernah menatap kelabu
dimana-mana. Mereka dikelilingi oleh warna. Sedangkan aku hanya hitam dan
putih. Mereka selalu diterpa oleh cerahnya sinar surya. Sedangkan aku hanya
diselimuti oleh langit mendung, hujan dan gerimis.
Mereka tak pernah
merasakan betapa hampanya dikelilingi oleh orang-orang yang lalu lalang.
Sekumpulan orang tak acuh dan tak berhati. Sekumpulan orang yang tak pernah
peduli satu sama lainnya.
Mereka tak pernah
merasakan itu.
Dan mereka tak pernah
merasakan sakitnya ditinggal… sendiri.
Hanya ada dentuman
jarum jam yang menemanimu. Detik tiap detiknya menggaung klise menghantam
telingamu. Ah, mereka tak pernah merasakannya. Mereka tak pernah merasakan betapa
sepi dan sendirinya perasaanku. Tak akan pernah.
Hingga pada akhirnya,
segenap kehampaan itu membuatku apatis.
Pikiranku menjadi
kosong. Tak ada satu pun persepsi, pengalaman, paradigma, ego, perasaan, ataupun
logika. Tak ada apapun. Benar-benar kosong. Seolah baru saja terlahir di dunia.
Aku sungguh tak merasakan apapun. Sebuah kehampaan yang tak terbatas. Aku
bahkan lebih kosong dari robot sekalipun.
Kosong.
Seolah tak ada bedanya
dengan boneka marionette yang dibawa ibuku. Ah, benar juga. Sepertinya aku
paham sekarang. Mengapa ibuku membawa boneka marionette yang mirip denganku.
Boneka itu memang
benar adalah aku. Aku yang saat ini tak memiliki kehendak. Aku yang saat ini
seperti boneka tak berguna yang hanya bisa digerakkan oleh orang lain.
Aku yang seperti
seonggok mayat.
Dan adik-adikku yang
menertawakanku. Adik-adikku yang suatu saat nanti tak akan membutuhkan
eksistensiku. Satu persatu dari mereka akan meninggalkanku sendiri. Mereka akan
merangkai mimpi mereka. Membangun kehidupan cerah mereka. Membentuk keluarga yang baru. Tanpa
menyertakanku. Tanpa mengikutsertakan kehadiranku.
Untuk itulah mereka
menertawakanku. Mereka kelak akan membuangku. Mereka kelak akan meninggalkanmu…
Sookie.
Sebuah pohon yang begitu
besar. Jari jemari ayah yang mengusap kepalaku dengan perlahan. Sosoknya yang
begitu menakutkanku. Sosok ayah yang semasa hidupnya selalu mengendalikanku. Ia
bagaikan pohon yang begitu besar dan rindang. Ia yang mengakar begitu kuat.
Yang mampu membuatku bertekuk lutut dalam tangis ketakutanku.
Ia hanya akan
membelaiku dari kejauhan. Dari tahtanya. Tanpa sudi untuk mendekatiku. Tanpa
sudi untuk memahamiku dari dekat.
Berbeda dengan
adik-adikku yang memanjat dahan dan rantingnya. Yang selalu dekat dalam kasih
ayah.
Aku tidaklah
signifikan. Tak berarti sama sekali.
Dan sosok Jessica yang
menggunting rambutku. Apalah artinya aku dibandingkan sahabat sekaligus
asistenku itu. Sekian lama ia menjadi sahabatku, hanya ialah yang mendapat
sorotan. Ia yang begitu populer. Ia dengan pribadi yang begitu menyenangkan dan senang
bersosialisasi. Sedangkan aku? Apalah artinya aku yang begitu introvert dan
begitu takut untuk sekedar berinteraksi dengan yang lainnya?
Sungguhlah pantas
Jessica memotong paksa rambutku. Sebuah mahkota indah yang tak layak dimiliki
oleh yeoja dengan pribadi aneh dan
tak wajar sepertiku.
Kini, aku memahami
semuanya. Segenap distopia yang selalu melandaku. Semuanya adalah kebenaran. Sebuah kebenaran
dimana hanya aku yang dapat melihatnya. Hanya aku yang dapat merasakannya.
Orang-orang di sekelilingku akan terus berlalu lalang. Tanpa ada yang
memperhatikanku. Tanpa ada yang mau menyapa yeoja yang tak signifikan ini.
Ah, langit pun akan
selalu mendung. Ia akan selalu menangis bersamaku. Tak akan pernah ada setitik
cahaya yang menerpa. Tak akan pernah ada harapan sedikit pun.
Warna-warna itu tak
bermunculan. Warna-warna harapan itu takkan pernah terlahir. Hanya akan
ada hitam dan putih. Hanya akan ada warna kelabu dan tak ada selainnya.
Itulah duniaku
sekarang. Sebuah dunia dimana hanya aku yang menghuninya. Mereka di luar sana
tak akan bisa mengerti. Mereka di luar sana tak akan bisa masuk dan
mengeluarkanku dari sini.
Tak akan bisa.
Meskipun aku menjerit
meminta pertolongan. Meskipun aku begitu ingin ditarik keluar.
Tak akan ada yang
mampu. Tak akan ada yang mampu menyelamatkanku.
Tak akan ada.
Kini, aku hanya bisa
terus berlari. Tanpa adanya destinasi.
‘Changmin-ssi…’
Air mataku berguguran.
Rasa lelah menghantamkan sekujur ragaku. Aku seolah diambang batas. Tak ada
arah. Tak ada tekad. Putus asa. Tak berarti. Sebuah titik yang tak bermakna.
Tak berguna. Tak bernilai. Tak berharga.
Lelah. Lelah. Dan… lelah.
Bak sebuah kertas
lusuh yang terguyur hujan dan terinjak-injak. Aku tak lagi memiliki semangat
hidup. Hitam, hitam dan hitam. Semuanya kini menghitam. Tak ada lagi putih. Tak
ada lagi serpihan kelabu. Benar-benar hitam. Gelap. Tak ada jalan. Buntu.
Benar-benar buntu.
‘Changmin-ssi… aku lelah.’
Seekor gagak
mengepakkan sayapnya. Satu, dua, tiga hingga puluhan gagak yang lain tampak
menyusul terbang dari belakang. Mereka mengitari eksistensiku. Dan sesaat
kemudian, muncul sesosok entitas yang berdiri beberapa jengkal di hadapanku.
‘Changmin-ssi…’
Aku terhenyak.
Changmin-ssi terlihat melayangkan senyumnya ke arahku sembari menggenggam payung
hitamku. Satu tangannya mengarah padaku. Ia menunggu. Ia menunggu kedatanganku.
Ia menginginkan
entitasku.
‘Sookie… kemarilah.’
Ujung
bibirku tertarik ke masing-masing sudut. Aku tersenyum tipis. Pada akhirnya,
Changmin-ssi datang. Changmin-ssilah yang datang untuk menyelamatkanku, Hanya
Changmin-ssi yang mampu menjemputku dari segenap kegelapan ini.
Hanya Changmin-ssi.
Hanya Changmin-ssi
yang memilikiku.
Kedua kakiku melangkah
ke depan. Perlahan-lahan menghampiri namja yang menjadi pelabuhan hatiku. Ia
tersenyum. Tangannya siap untuk mendekap erat tubuhku. Pada akhirnya, semua
akan berakhir. Penderitaanku. Dunia yang mengerikan ini. Semuanya akan
berakhir. Aku akan keluar dari sini. Pergi sejauh mungkin bersama Changmin-ssi.
Pergi dan tak pernah
kembali lagi.
“SOOKIE-EONNI!
AWAAAAASS!”
Sebuah jeritan pilu
memberiku peringatan. Aku sudah tak dapat mencerna suara siapa yang berteriak
itu. Yang kulihat hanya sosok Changmin-ssi dan payung hitamnya. Aku sudah tak
peduli lagi.
Dan disaat tubuhku
terjatuh ke dalam rengkuhannya.
Warna putih yang
begitu kuat memekakkan penglihatanku.
Salvation…
…
‘Aku
begitu mencintaimu… Changmin-ssi…’
-------------------------------------------------------------------------------------
Gweboon POV
Skizofrenia.
Kini aku paham apa
yang sudah terjadi pada kakak perempuanku. Sebuah penyakit mental yang
menyebabkan gangguan fungsi otak. Sebuah penyakit yang membuat kakakku terjebak
di sebuah dunia yang mengerikan. Sebuah dunia dimana kami tak pernah
melihatnya. Sebuah ilusi dan kontradiksi yang hanya dialami Sookie-eonni
seorang diri.
Semuanya sudah
terlambat.
Entah, apa yang
sebenarnya dilihat eonni. Aku sungguh terkejut saat menatapnya berlari
menyongsong sebuah mobil yang melaju cepat di hadapannya. Jeritanku tak ada
gunanya. Di saat aku menyadari realitas yang terjadi, ia sudah tersungkur di
atas kerasnya jalanan dengan segenap darah yang menggenangi tubuhnya.
Semuanya sudah terlambat.
Lee Eunsook.
Nama itu terukir lalim
di sebuah nisan. Tangis segenap saudaraku tak akan mampu membuatnya kembali
kepada kami. Aku sendiri hanya mampu tertunduk diam dengan mata berkaca.
Sebelum saudara-saudaraku menangis, aku sudah lebih dulu tersungkur dalam
derasnya air mata—saat menatap jasad kakakku untuk yang terakhir kalinya.
Rangkaian bunga
kusebar di sekitar bingkai pemakaman. Kupanjatkan doa dan permintaan maafku
karena tak sanggup menyelamatkan kakakku. Ia telah berpulang ke
tempat orang tuaku beristirahat. Rintik-rintik
gerimis membasahi tanah pemakaman. Sekarang, aku seolah mengerti apa yang dirasakan Sookie-eonni
selama ini.
“Ayo Gwe, kita pergi.”
Sebuah tepukan lemah
mendarat di pundakku. Jessica-eonni mengangguk pelan memberi isyarat. Matanya
terlihat sembab karena terlalu banyak menangis. Tak ada bedanya dengan diriku. Dengan
berat hati, kami semua melangkah pergi meninggalkan pemakaman eonni.
Dan setelah segenap
saudaraku memasuki mobil Jessica-eonni, kulayangkan atensiku ke
arah pemakaman untuk yang terakhir kalinya. Dahiku pun berkerut heran. Ada sebuah
fenomena aneh yang tak kuduga sebelumnya.
Sesosok… namja.
Ya, benar. Sesosok namja. Ia tampak melangkah perlahan mendekati nisan eonni.
Surai rambut ravennya
tersibak lembut. Rangkaian bunga ia letakkan di tengah nisan. Ia tampak berdoa. Dan wajahku pun
memucat takut tatkala namja itu mulai berdiri dan menghadap ke arahku.
Syok.
Aku menganga,
gemetaran.
Sosok yang sama.
Sosok yang pernah
kulihat sebelumnya.
“Gweboon, kau kenapa?
Kenapa kau kelihatan pucat?” pertanyaan Jessica-eonni tak mampu kujawab.
Tenggorokanku tercekat tak berdaya memuntahkan kata. Tanpa basa-basi, aku segera
menaiki mobil dan menyuruh Jessica-eonni untuk segera mengemudikan
mobilnya, pergi meninggalkan
tempat ini secepat mungkin. Firasatku tak enak.
‘Tidak mungkin…’
…
‘Tidak mungkin namja
itu… nyata.’
‘Namja
yang seharusnya hanya hidup di dalam dunia Sookie-eoni.’
‘Tidak
mungkin.’
Dan di luar
sepengetahuanku…
Namja itu menyeringai
ambigu bersamaan dengan eksistensinya yang perlahan… memudar.
-------------------------------------------------------------------------------------
.
.
Putih
Sebuah ruang hampa
dengan langit tanpa batas dan genangan samudra tak berwarna. Sebongkah daratan
dan satu pohon di pusatnya. Dan perahu kayu perlahan didayung ke arah daratan. Sesosok
yeoja berambut panjang tampak tersenyum di dekat pohon.
‘Ayo, lebih cepat, Changmin-ssi…’
Namja raven itu
tersenyum dan sedikit mempercepat laju perahunya. Hingga ia pun tiba di daratan
tempat yeojanya menanti. Sang yeoja mendekat dan menyambut bentangan tangan
sang namja.
Dengan simpulan senyum lembut.
Mereka
pun
berlalu menyusuri sebuah dunia dimana hanya ada mereka berdua saja di sana.
Ya, benar.
Hanya ada mereka berdua.
Hanya
ada mereka.
Dan
tak ada satupun eksistensi lain.
FIN
-------------------------------------------------------------------------------------
A/N:
FF perdana setelah 2 tahun lamanya hiatus. Typo, kalimat rancu bertebaran
dimana-mana. Kekakuan, OOC dan segala macamnya. Mohon maaf untuk beberapa
kesalahan yang saya buat. Mohon maaf buat yang udah berekspektasi klo FF ini
bakalan penuh dengan romance khas changnew yang romantis dan fluff. Karena FF
ini lebih ke perspektif dark fic yang menekankan tema psikologi.
Terima
kasih udah membaca apalagi mengkomen. Mohon maaf atas penurunan kualitas.
Pembenahan akan terus saya lakukan. Nantikan FF saya berikutnya. Jaa Ne~ ^^

I love thiiiissss~~~~
ReplyDeleteAs usual, aku suka banget sama diksinya Nee, bagus banget. Ehmm... tapi yang sebatang kara, sebatang kara itu bukannya kalo udah bener" sendiri nggak punya adik" gitu ya>? O.o
Aku pikir ini pertamanya fic normal deh, cuma Changmin itu siapa gitu mbuntutin Eunsook terus, tapi lama-lama aneh juga u,u Ternyata gitu toh, emang Eunsook yang kena something" Ah, tapi mah kalo yang muncul Changmin sih, gak heran jadi kelepek" sampe segituny <3.<3 Too handsomee to be ignored~~ #plak Menurutku, masih IC sih, cuma Eunsook kurang malu-malu gimana gitu sampe pipi merah #plak. Dan aku suka karakter darknya, jarang banget Eunsook jadi dark gitu. Soal Changmin, ah udah deh bang, tetep hensyem kok <3, no comment dah buat abang sekseh #elapmimisan Evilnya tetep kerasa di bagian akhir. Sebenernya Changmin itu hantu apa gimana sih? O.o Penasaran aku.
Overall, ficnya kayak fic Nee yang lain, kereeeen bangeet, selalu dengan ide yang bagus dan menarik >///< Fighting, Nee~ Ditunggu karya ChangSook yang lainnya! ChangNew juga eheheheheheh~ Udah kangen aku baca fic ChangNew
And the last, welcome back! :D
With love,
Meiko Hoshiyori
Makasih buat reviewnya saengi! :3
DeleteIya, ada kesalahan di kalimat sebatang kara. Fic ini udah berkali2 ngalamin perubahan plot. Jadi mungkin sisa2 kesalahan semacam sebatang kara ikut nyempil di situ. maaf xDDD
Changmin emang... ahhh perfect maksimallah entitasnya :* soal identitas dia, aku udh narik kesimpulan kayaknya banyak yg ngira Changmin itu hantu. Sebenernya ini kayak semacam plot hole. Kamu bisa nganggep Changmin itu hantu sih :p #plaks
Skizofrenia yang dialamin eunsook di sini kemungkinan besar bakalan nurun secara genetik ke adik2nya. Nah, bisa jadi kandidat yang terjangkit penyakit ini adalah Gweboon. Makanya dia bisa 'ngeliat' sosok Changmin hohoho :3
Tp gak ada sequel ya di sini. Kalau semisal ada yg bikin sequel berdasarkan ini, sentriknya di Gweboon yg terjangkit skizofrenia. Jd kayak semacam lingkaran setan ya. muahahahaha #heh
Makasih pujiannya saengi. Maaf buat beberapa kekurangannya ya. Aku jg kangen changnew. Aku mungkin gak bisa bikin FF yaoi yg kental kayak dulu lagi. Kalaupun changnew, mungkin hintnya super soooofffttt banget. Tp aku usahakan dengan ide cerita yg gak pasaran kok :3
Sekali lagi makasih buat supportmu saeng! :*
Daebakk..keren bgt jalan crita'a eonni..aku pikir changmin nyata trnyta halusinasi tohh..td'a brharap klo changmin bnr2 hadir di kehidupan nyata'a sookie..cm tulisan eonni doang yg khas tp suka sma gaya penulisan'a eonni..pko'a d tunggu changnew moment'a..
ReplyDeleteby:wiwie
Hehehe iya. ternyata changminnya cuman halusinasi :p
Deleteditunggu aja ya changnewnya. Makasih buat komennya :D