MIA (Missing In Action) Part 1



M.I.A (Missing In Action) Part 1 © Viero D. Eclipse

Shim Changmin | Lee Jinki

Rate: T

Genre: Drama/Angst/Tragedy

Warning: Slight Bromance, Typo, OOC, Redundansi, pemborosan dan segala error kata yang lain (efek hiatus berkepanjangan)

-------------------------------------------------------------------------------------
Our fate is only divided by three things. Meet. War and then… Die.
-------------------------------------------------------------------------------------

2135 AD

Distopia.

Masa depan hanyalah… distopia.

Tak ada yang indah di mata Lee Jinki. Masa depan hanyalah mimpi buruk tanpa harapan. Tak ada lagi kebahagiaan. Ketenangan hanyalah mitos abadi yang akan terus berlaku sampai mati. Yang ada hanyalah ketakutan. Kekhawatiran. Keputusasaan. Pasrah akan takdir.


Tak ada lagi nilai kemanusiaan.

Yang terhampar adalah perebutan kekuasaan. Hukum rimba. Kematian.

“Tembak! Cepat tembak saja dia! Hancurkan semuanya!”

Dorr! Dorr! Blam!

“Aaarrgghhh!”

Jeritan pilu memekik telinga. Korban-korban pun berjatuhan. Mereka hanyalah orang-orang tak bersalah. Orang-orang tertindas yang tak memiliki kekuasaan. Yang tak signifikan. Yang dianggap lebih rendah dari sampah. Rakyat jelata.

Jinki menggigil ketakutan.

Ia tak mampu bergeming dibalik reruntuhan bangunan. Hanya mampu bersembunyi di sana. Sampai bunyi-bunyi bom terhenti. Sampai jeritan-jeritan pilu menghilang. Sampai rudal yang dilesatkan tak lagi menghantam tanah bumi. Sampai segenap entitas pembara perang itu pergi sepenuhnya. Tak lagi terlihat mata.

Jinki sungguh sangat ketakutan.

Wajahnya memucat. Ia begitu syok melihat kumpulan mayat berserahkan tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Seorang ibu yang menggendong bayinya. Hingga beberapa anak kecil juga turut menjadi korban. Peluru bersarang tepat di kepala dan dada mereka. Jasadnya berlinang darah. Mereka semua pun tewas dengan kedua mata terbelalak kosong. Sungguh pilu.

Hanya dalam hitungan detik, Jinki bisa saja terbunuh jika kumpulan prajurit itu menemukan persembunyiannya.

Takut. Ia sungguh ketakutan.

‘Eomma… Appa… tolong aku…’

Sebuah doa terpatri dai hati. Sebuah doa yang mungkin tak ada gunanya. Kedua orang tua Jinki sudah lebih dulu terbunuh. Mereka pergi ke alam sana, meninggalkan seorang anak berumur 15 tahun sendiri. Sebatang kara. Di medan perang. Tak berdaya.

Dibalik pakaian lusuhnya, selembar kain putih Jinki tangkupkan di kepala untuk menutupi sebagian wajahnya. Suara tapak kaki prajurit kembali terdengar mendekat. Detak jantung Jinki semakin berpacu cepat karena panik.

“Cepat periksa area ini. Jangan sampai ada satu saksi mata yang masih hidup. Semuanya harus dibunuh. Sampai tak ada yang tersisa!”

“Baik!”

Sebuah titah keji dikumandangkan. Sebagian prajurit berpencar menyusuri area. Jinki mencoba untuk tak menguarkan suara sedikitpun. Sampai pada akhirnya, suara tapak kaki seseorang semakin terdengar mendekati reruntuhan bangunan tempatnya bersembunyi.

‘G-Gawat! M-Mereka sepertinya sudah menemukanku.’

Dengan sigap Jinki segera mengambil sebongkah batu dan bersiap untuk melemparnya ke arah prajurit yang hendak mendekat. Dibalik resistensi itu, Jinki pun pasrah jika pada akhirnya, sebuah peluru akan lebih dulu menembus pelipisnya. Apalah daya seorang anak berumur 15 tahun bersenjatakan batu melawan prajurit bersenjatakan senapan M4 Carbine. Sudah pasti Jinkilah yang lebih dulu meregang nyawa.

Dan benar saja.

Seorang prajurit tampak menunduk dan mengintip ke sela reruntuhan bangunan. Refleks, Jinki pun segera melempar batu yang dibawanya tanpa memerhatikan lebih jauh.

Duakk!

Lemparan Jinki ditelak. Prajurit itu memiliki refleks yang tak kalah cepatnya. Ia tampak santai saat Jinki mencoba untuk kabur dan berlindung dibalik sisi tembok bangunan yang lain. Anak itu sungguh tersudut. Ia paham itu.

“P-Pergi! Menjauhlah dariku!” Sebuah ancaman yang sia-sia. Jinki tahu bahwa ia tak akan mampu menakut-nakuti prajurit itu hanya dengan sebuah batu yang dibawanya. Ia kembali mengenggam beberapa batu kecil di tangannya untuk ia lemparkan secara bertubi-tubi. Namun, percuma.

Prajurit itu tetap mendekat tanpa gentar sedikitpun.

“Apa kau sudah puas melempar batu?”

“H-Huh?” Jinki terbelalak. Sebuah suara yang begitu lantang dan tegas. Prajurit itu pada akhirnya menghentikan langkah dan menatapnya tanpa ekspresi. Matanya hitam pekat. Untaian rambut ravennya tersibak lembut dibalik helm tentara yang dikenakannya. Tubuhnya tinggi. Kulitnya putih. Tangan kanannya masih memegang erat M4 yang siap melesatkan peluru.

Ditilik dari penampilannya, ia adalah prajurit yang masih sangat muda dan berdarah Asia seperti Jinki. Namun dibalik itu, ia seolah berkepribadian sedingin es.

Dan ia pasti tak segan-segan membunuh Jinki.

Pasrah, Jinki pun bersandar di sudut dinding dan lantas berlutut ke bawah. Menunduk tak berdaya. Ia tak sanggup menatap ajalnya. Dalam hitungan detik, ia mungkin akan segera bertemu kedua orang tuanya di alam sana. Sudahlah. Jinki tak terlalu risau dengan itu. Ia sudah tak memiliki siapa-siapa. Bertahan hidup tanpa tujuan di dunia pun sungguh tak berarti.

Lebih baik segera mati dan meninggalkan neraka dunia ini.

Prajurit itu lantas mendekat hingga ia sampai tepat di hadapan Jinki. Keheningan pun terjadi untuk sesaat. Kedua mata Jinki terpejam rapat menanti hujaman peluru di pelipisnya.

Sampai pada akhirnya…

Prajurit itu menjatuhkan senapan M4 Carbine nya.

‘A-Apa yang sudah ia lakukan?’ Realitas itu membuat Jinki terhenyak. Prajurit itu terdiam dan lantas membalikkan tubuhnya membelakangi Jinki. Ia menatap sekeliling, memastikan tak ada satupun prajurit lain yang memergoki tindakannya. Karena tindakannya menyelamatkan nyawa Jinki adalah sebuah pelanggaran besar.

“Ambilah senjata itu dan bertahanlah hidup. Aku tak ingin membunuhmu.”

M-Mwoh?” Jinki syok mendengar itu. Seakan tak terima, ia pun melayangkan tatapan tajam ke arah punggung sang prajurit. Ia seolah diremehkan.

“Kenapa? Bukankah ini adalah pekerjaanmu? Bunuh saja aku! Aku tak butuh belas kasihan! Kalian semua monster! Kalian sudah membunuh keluargaku!”

Bentakan itu hanya membuat sang prajurit menyeringai. “Apa kau tak ingin membalaskan dendammu?”

“H-Hah?” Lagi-lagi Jinki terhenyak. Prajurit itupun lantas menoleh ke arahnya.

“Dunia ini benar-benar sudah kacau. Jadilah kuat untuk melindungi dirimu sendiri. Kau adalah seorang lelaki. Kita bertemu untuk berperang dan mati. Jika kau mati sekarang sebelum berperang, kau sungguh tak ada gunanya. Kau masih muda.”


“Perjalananmu masihlah sangat… panjang.”

Prajurit itupun melangkah pergi meninggalkan Jinki. Bersamaan dengan itu, atensi Jinki lantas tertuju pada M4 Carbine yang tergeletak di hadapannya. Senapan itu cukup kompleks dengan beberapa sisa peluru di dalamnya. Ia bisa saja nekat membunuh sang prajurit.

Namun, entah mengapa.

Entah mengapa, prajurit itu sepertinya menaruh secercah harapan padanya.

Prajurit itu sudah memberi Jinki kesempatan untuk hidup.

Berhutang nyawa…

Dan pada akhirnya, Jinki berhutang nyawa pada prajurit itu.

‘Jadilah kuat. Jadilah kuat untuk melindungi dirimu sendiri.’


‘Jadilah kuat.’

‘Perjalananmu… masihlah sangat panjang.’

.

.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


2145 AD

Sebuah era futuristik dimana teknologi yang sudah maju dialihkan untuk kepentingan berperang. Semakin lama, ideologi untuk berkuasa semakin tertancap begitu dalam di pikiran para raja, pemerintah dan penguasa setiap negara. Semuanya terpecah belah dan kembali memperebutkan wilayah kekuasaan mereka. Hukum rimba kembali diberlakukan.

Yang kuatlah yang menang. Sedangkan yang kalah akan ditindas dan dibumi hanguskan.

Tak ada lagi kedamaian dan persatuan. Tak ada lagi kerja sama antar negara hingga rasa kemanusiaan. Semuanya lenyap. Para penguasa mengeluarkan sisi monster mereka. Penindasan dimana-mana. Hidup hanyalah untuk berperang dan berperang. Kematian adalah konsekuensi. Yang hidup akan terus bertahta dengan pemerintahan mereka yang begitu bengis.

Era ini adalah neraka.

“Kapten Onew! Jenderal G-Dragon memanggilmu!”

“Baik. Aku akan segera menemui beliau.”

Jinki menghela napasnya. Ia masih belum terbiasa dipanggil dengan nama barunya. Onew. Sebuah nama yang ia gunakan untuk menyembunyikan identitas aslinya. Sepuluh tahun telah berlalu semenjak ia berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian massal yang dilakukan prajurit musuh saat berperang di Korea. Segenap rasnya telah habis. Hanya ada beberapa orang Asia yang masih bertahan hidup termasuk Jepang dan China.

Rata-rata dari mereka telah mengabdi sebagai tentara perang untuk negara yang menjadi musuh mereka sendiri. Termasuk Jinki saat ini. Di usianya yang sudah menginjak 25 tahun, ia telah tumbuh menjadi sesosok lelaki yang kuat dan memiliki kemampuan berperang yang luar biasa. Ia bahkan berhasil meraih gelar sebagai kapten hanya dalam waktu beberapa tahun. Ia berusaha keras untuk bertahan hidup hanya dengan sebuah M4 Carbine yang ditinggalkan prajurit misterius berdarah Asia—yang waktu itu menyelamatkan nyawanya.

Prajurit berambut raven dengan tatapan yang begitu dingin, tanpa ekspresi.

Pertemuan itu mengajarkan Jinki akan satu esensi yang penting. Bertahan hidup, berperang dan mati. Di sisa nyawanya saat ini, ia masih dapat melakukan kontribusi. Tak ada gunanya mati sia-sia sebagai rakyat tertindas. Setidaknya, Jinki ingin menunjukkan pada kedua orang tuanya bahwa ia masih mampu membarakan resistensi di tengah neraka dunia ini. Ia bukanlah anak yang lemah.

Dan Jinki juga ingin menunjukkan pada prajurit itu bahwa ia… masihlah hidup saat ini.

Ia masih mampu bertahan hidup dan melindungi dirinya sendiri.

Prajurit raven itu…

Jinki sungguh ingin menemuinya sekali lagi.

Dengan langkah stagnant, Jinki terus menapakkan kakinya ke ruang jenderal. Sekedar informasi, saat ini ia telah berada di Aeon. Sebuah markas berukuran masif yang juga memiliki fungsi sebagai benteng. Di era berlapis teknologi semaju ini, Aeon memiliki kemampuan untuk melayang di udara. Dengan memanfaatkan sumber energi dengan rumusan yang baru, sebuah engine canggih pun diciptakan agar dapat mengangkat benteng masif itu ke udara. Meski tak mampu melaju secepat pesawat ataupun jet, engine pada Aeon memudahkan benteng tersebut untuk berpindah lokasi dengan cepat tanpa harus berpindah ke benteng lain.

Dan Aeon bukanlah satu-satunya benteng yang dimiliki oleh pasukan militer Jinki. Pasukan militer musuh pun juga memiliki benteng dengan sistem serupa. Masing-masing bagian memiliki ilmuan dan kemajuan teknologinya sendiri. Jinki cukup beruntung karena berada di pihak militer yang mumpuni dalam segi teknologi dan sangat kuat dalam hal penyerangan. Walaupun ia tahu bahwa tak ada ideologi ideal yang dimiliki salah satu pihak penguasa untuk saat ini.

Ia masih menjadi bagian dari monster berdarah dingin. Monster yang sudah membunuh ribuan nyawa tak bersalah.

Namun, Jinki memiliki rencana perubahan untuk hal itu.

Pintu ruangan terbuka lebar. Jinki tiba di ruang pribadi G-Dragon. Sesosok jenderal yang memimpin pasukan militer Jinki. Dibalik perawakannya yang kecil, G-Dragon atau yang disebut GD merupakan sosok jenderal yang berkarisma dan sangat regal.

“Kuucapkan selamat karena kau telah berhasil memimpin pasukan untuk menguasai kerajaan Illyria. Pasukan mereka sangatlah kuat. Aku takjub karena kau berhasil menaklukkan mereka hanya dalam waktu tiga hari saja. Luar biasa.” Pujian itu membuat Jinki tersenyum tipis.

“Pasukan tempur kita juga terdiri dari humanoid dengan A.I berkemampuan tinggi, Jenderal. Faktor itu jugalah yang menjadi kunci kemenangan kita.”

“Tak perlu merendah, Onew. Pasukan humanoid kita bergerak mengikuti perintah. Tanpa strategimu, kita akan kalah telak.” G-Dragon bertopang dagu. “Kekuatan divisimu akan segera menyusul kekuatan divisi satu dengan cepat. Ini sangat mengangumkan.”

“Pujianmu sungguh membanggakan untukku, Jenderal.” Jinki kembali tersenyum tipis. GD lantas mengangguk affirmatif.

“Tak salah aku menunjukmu sebagai kapten, Onew. Bahkan di saat semua pasukanmu mengunakan senjata berteknologi tinggi, kau pun mampu menyinarkan kemenanganmu dengan hanya bersenjatakan M4 Carbine kunomu itu. Apa kau yakin, kau tak mau mengganti senjatamu?”

Jinki tertawa kecil. “Senapan kuno itu sangat berharga untukku, Jenderal.”

M4 Carbine benar-benar sudah ketinggalan jaman. Senapan musuh sudah memiliki sensoric system yang mampu membidik peluru tepat sasaran tanpa harus mengarahkannya secara manual. Jika kau lengah, kau bisa saja kalah dan tewas tertembak oleh mereka.”

“Tapi puji syukur karena saat ini, Tuhan masih melindungiku, Jenderal. Aku akan tetap menggunakan M4 Carbine ini sampai mati. Aku berterima kasih atas penghargaan dan tawaran yang sudah kau berikan. Tapi mohon maaf, aku tak bisa menerima itu.” Pernyataan Jinki membuat GD menghela napas. Bukan sekali ini saja bawahannya itu menolak tawarannya. Jinki adalah sesosok lelaki yang persisten dan sangat keras kepala.

Namun, ia akui bahwa Jinki adalah sesosok prajurit dengan kemampuan yang luar biasa.

“Baiklah, Onew. Aku menghargai keputusanmu. Tapi bayangkan jika kau menggunakan senjata terbaru kita saat ini. Kau akan semakin kuat. Kemampuanmu akan semakin tak terkalahkan. Jika kau berubah pikiran, aku siap untuk memberikan senjata baru itu kapan saja untukmu.”

“Terima kasih, Jenderal.” Jinki mengangguk hormat. GD lantas beranjak dari kursinya dan lalu menuju ke arah jendela benteng. Kedua tangannya disilakan di dada.

“Sebentar lagi kita akan segera berperang melawan Andorra. Negara keenam terkecil bagian dari Eropa. Sudah 60 persen dari Eropa telah kita taklukkan. Andorra memiliki kekuatan militer yang cukup baik saat ini meskipun kuantitasnya tak sebanyak USA.”

“Untuk negara sekecil itu, kemajuan yang mereka torehkan hingga saat ini cukup pesat. Industri pariwisata yang mereka miliki semakin mendunia setahuku. Banyak lahan alami yang belum dikelolah pula di sana.” Tambah Jinki. GD mengangguk affirmatif.

“Itu benar. Untuk divisimu, menaklukkan Andorra adalah hal yang sangat mudah. Memang, wilayahnya tak terlalu signifikan. Namun sekecil apapun Andorra, lebih baik berada di tangan kita daripada jatuh ke tangan musuh. Andorra tetaplah sebuah aset.”

Jinki terdiam sejenak sampai pada akhirnya, GD mengarahkan atensi ke arahnya. “Kutambahkan 300 unit pasukan humanoid ke dalam divisimu. Aku ingin kau menaklukkan Andorra secepatnya.”

“Apakah divisi lain tak membutuhkan pasukan humanoid kita, Jenderal? Kudengar, divisi tiga sedikit kesulitan menaklukkan Liechtenstein. Kurasa, 300 humanoid itu angka yang terlalu banyak. Kecuali, jika Andorra juga memiliki pasukan A.I. seperti kita.”

“Itulah sebabnya mengapa aku memback up divisimu dengan 300 humanoid. Belum ada statistik yang mampu mengukur sejauh mana kekuatan Andorra saat ini. Informasi terakhir yang kudengar, mereka juga memiliki pasukan A.I. Namun, aku tak bisa memastikan secanggih apa pasukan mereka. Untuk berjaga-jaga saja, siapa tahu sistem mereka lebih maju daripada kita.”

“Ah, begitu…”

“Benar. Sekecil apapun Andorra, jangan pernah sekalipun meremehkan mereka. Tapi tenang saja. Mengalahkan mereka tidaklah sesulit mengalahkan negara besar. Kau hanya perlu waspada dengan kekuatan yang mereka sembunyikan. Itu saja.” Penjelasan itu membuat Jinki mengangguk. Satu lagi misi yang harus ia tuntaskan. Nyawanya bisa saja melayang di waktu dekat. Tak ada sebuah kepastian. Yang ada hanyalah perang membawa kemenangan. Atau perang dengan membawa kekalahan dan kematian.

Tak ada rasa takut sedikitpun di hati Jinki.

Jikalau ia harus gugur di medan perang…

Itu sudah menjadi sebuah konsekuensi mutlak yang harus ia hadapi sebagai seorang prajurit.

.

.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Humanoid adalah pasukan tentara A.I (Artificial Intelligence) yang dikembangkan oleh Jepang tepatnya pada tahun 2139 AD.

Di saat pembantaian massal diberlakukan di negara-negara berkembang, Jepang berusaha untuk menciptakan pasukan pengganti manusia dengan kemampuan berperang yang sangat mumpuni. Di saat itulah trend tentara A.I mulai dicopy di seluruh penjuru dunia untuk menambah kekuatan militer mereka masing-masing.

Dan Jerman, negara yang merekrut Jinki sebagai salah satu kekuatan militernya telah berhasil mencuri prototype humanoid yang dibuat oleh Jepang. Mereka pun semakin menyempurnakan teknologinya hingga akhirnya mampu menjadikan humanoid sebagai tentara perang dengan kesempurnaan hampir seratus persen. Humanoid itu seolah menjadi sekumpulan mesin pembunuh yang sangat efisien.

Namun, tetap saja. Tak ada yang bisa mengalahkan kesempurnaan manusia itu sendiri.

20 persen dari tentara yang dipimpin Jinki masih terdiri dari tentara manusia (infanteri). Sisanya adalah humanoid yang bertugas untuk membantu mereka dan menjadi korban ledakan, tembakan, rudal hingga bom yang dilesatkan musuh. Tentu saja beberapa negara yang menjadi musuh Jinki juga memiliki pasukan humanoid yang serupa. Namun, daya tahan, kepintaran dan kekuatan yang mereka miliki masihlah tak sebanding dengan humanoid rakitan Jerman.

Hanya ada satu tipe humanoid yang mampu menyaingi buatan Jerman. Yakni buatan Amerika Serikat. Jika saja Jepang tak dibantai habis-habisan saat itu, mungkin ilmuan-ilmuan mereka akan mampu membuat humanoid yang lebih sempurna dari humanoid yang ada saat ini.

“Kita telah dibekali 300 humanoid. Jangan sampai kita menghabiskan banyak humanoid dalam perang ini. Stok humanoid untuk divisi tiga semakin menipis. Akan butuh waktu yang lama untuk memperbaiki dan memproduksi humanoid yang baru.”

Jinki menggemakan titahnya dengan lantang. Puluhan pasukan infanteri mengangguk paham. Meskipun sebagian humanoid diciptakan untuk tumbal perang, tetap saja fatal akibatnya jika banyak pasukan humanoid yang hancur dan tak bisa difungsikan lagi.

“Tujuan kita menaklukkan Andorra adalah agar kita mampu memproduksi pasukan humanoid di sana. Kemajuan teknologi di negara itu cukup pesat. Andorra adalah amunisi untuk kekuatan militer kita saat ini.”

“Kapan kita akan memulai penyerangan, Kapten?” salah seorang tentara melayangkan tanya.

“Dini hari nanti. Di saat semuanya sedang lengah. Pasukan humanoid kita akan lebih dulu menyerbu di barisan depan.”

Jinki terlihat optimis. Namun dibalik itu, kesiagaan tetap terpancar dalam gesturnya. Ia adalah seorang kapten. Seorang pimpinan perang. Ia adalah wujud kepercayaan bawahannya. Jika ia menampakkan kegentaran sedikit saja, maka hal itu akan berdampak pada kepercayaan diri para pasukan tentaranya.

Takut ataupun tidak, Jinki tetap harus memasang topeng tangguhnya. Dan ia sudah terbiasa dengan topeng itu. Karena topeng ketangguhan adalah salah satu caranya untuk bertahan hidup di dunia yang kejam ini. Dan ia yakin, tak hanya ia saja yang menerapkan cara seperti itu.

Bahkan, ratusan korban yang tumbang di medan perang pun terlihat memasang topeng ketangguhan mereka meski dalam keadaan meregang nyawa sekalipun.

Karena mereka tak ingin terlihat lemah dan tak berdaya. Meskipun mereka sedang ditindas dan dihancurkan.

Dan lagi, mereka adalah manusia yang memiliki hak… untuk hidup.

.

.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

BLAAMM!

Rudal pun dilesatkan. Ledakan menggema. Erangan kesakitan para tentara musuh memekakkan telinga. Pasukan sendiri pun juga mengalami hantaman serangan yang sama.

Jinki mengatur olah napasnya. Ia tampak bersembunyi dibalik pohon besar yang ada di pinggiran hutan. Puluhan pasukan infanterinya terlihat memata-matai musuh dari tempat persembunyian mereka masing-masing. Kurang lebih 200 humanoid telah menjadi tumbal granat dan rudal yang dilesatkan kubu musuh. Sebagian hancur lebur. Sebagian lagi masih berfungsi walaupun terjadi beberapa kerusakan fatal.

“Kapten Onew, kita berhasil menaklukkan pasukan musuh di sektor A. Tapi di sektor B, mereka menerjunkan pasukan humanoid mereka.”

“Bagaimana dengan pasukan humanoid kita di sektor B?”

“Sepertinya pasukan humanoid kita sedikit kalah jumlah dengan mereka.” Pernyataan itu membuat Jinki terdiam untuk sejenak. Situasi seperti ini sudah dapat ia prediksi sebelumnya. Andorra sudah pasti memiliki persiapan untuk menghadapi perang besar ini. Mereka juga memproduksi humanoid. Sungguh bukan sebuah kejutan.

“Dalam hal kecepatan, sistem humanoid mereka sedikit lebih unggul. Tapi dalam hal kekuatan dan ketahanan, humanoid kita masih tetap nomer satu, Kapten.”

“Kalau begitu, sebagian dari kita harus ikut memback up pasukan humanoid di sektor B. Akulah yang akan memimpin langsung di sektor B. Sektor A sudah cukup aman saat ini.”

Jinki memberi komando. Dan tak membuang waktu lebih lama lagi, ia dan puluhan pasukannya segera menuju ke sektor B. Hanya dengan bersenjatakan M4 Carbine miliknya, kapten perang divisi dua itu berani menyerbu area musuh. Biasanya, ia menggunakan M4 Carbine untuk membunuh tentara manusia. Sedangkan untuk melawan pasukan humanoid, granat dan bom adalah jawabannya.

“Humanoid milik Andorra memiliki keunggulan tersendiri dalam kecepatan. Refleks mereka sangat baik dan mampu menghindari serangan yang dilancarkan humanoid kita. Lemparan granat hanya akan merusak vessel baja mereka. Dibutuhkan ledakan dengan kekuatan lima kali lipat untuk dapat melumpuhkan mereka sepenuhnya.”

Jinki menyelami pernyataan yang didengar dari earphonenya secara terperinci. Pasukannya yang berada disektor mencoba untuk memberi kesaksian secara real time. “Berapa jumlah mereka saat ini?”

“Untuk saat ini, mungkin sekitar 120 pasukan humanoid, Kapten.”

“Baiklah. Sebentar lagi kami akan tiba di sana. Tetaplah bertahan!”

“Baik, Kapten!”

Bersamaan dengan terputusnya sambungan, Jinki pun terus menginstruksikan tank yang dinaikinya untuk menuju ke sektor B. Dan benar saja. Sesampainya ia di garis depan sektor B, beberapa tembakan laser sudah menghantam tank Jinki bertubi-tubi. Beruntung, tank yang dimiliki divisi Jinki terbuat dari bahan yang sama dengan humanoid mereka. Tembakan laser dan ledakan bom pun akan sulit untuk menghancurkan tank itu.

“Dalam hitungan mundur, lesatkan tembakan ke arah gerombolan humanoid itu!”

“Baik!”

“Tiga, dua, satu… TEMBAK!”

BLAMM!

Tank melesatkan tembakan. Sekumpulan humanoid musuh yang menghadang mereka pun terpental ke penjuru arah. Jinki menyeringai puas melihat itu.

“Bagus. Jangan pernah meremehkan T-21D. Tank seri terbaik yang dimiliki negara kami saat ini.” Segenap prajurit Jinki tertawa puas. Jelas saja T-21D merupakan tank kebanggaan Jerman saat ini. Tank itu tak lagi melaju dengan roda rantai seperti tank biasa pada umumnya. T-21D dilengkapi dengan empat kaki mekanik yang mampu bergerak cepat dan mendaki medan terjal.

Sistem bahan bakarnya serupa dengan tank Leopard milik Jerman yang menggunakan mesin pembakaran dalam dengan multi bahan bakar. T-21D sejatinya adalah humanoid yang didesain khusus serupa tank dan memiliki fungsi hingga keunggulan melebihi tank modern yang ada saat ini. Body T-21D juga mampu menangkal misil anti-tank yang dilesatkan pasukan infanteri musuh.

Pasukan Jinki pun terus maju dan menyerbu ke depan. Hantaman demi hantaman pun tak mampu menghentikan langkah mereka. Mereka maju untuk menang dan tak ada lagi alasan untuk mundur dan menyerah begitu saja.

Dan tak butuh waktu lama untuk tiba di destinasi yang sebenarnya.

“Lapor! Kapten Onew! Kita telah memasuki perbatasan area Sant Julia de Loria!” Mendengar itu, Jinki lantas keluar dari tank dan memijakkan kedua kakinya di atas tanah. Sant Julia de Loria sebuah area distrik yang dulunya penuh dengan lembah dan pegunungan alami. Kini, semua itu hanya menjadi sejarah yang tergerus dengan perkembangan jaman.

Sant Julia de Loria telah berevolusi menjadi kota metropolis yang penuh dengan bangunan futuristik. Lembah dan gunung-gunung yang indah itu sebagian besar telah lenyap, tergantikan dengan bangunan raksasa yang menjulang angkuh menantang langit. Jinki sedikit miris dengan itu. Semakin lama, bumi semakin kehilangan pesona alamnya. Manusia semakin mengeksploitasi sumber daya yang ada. Istilah kiamat bukan lagi sekedar khayalan belaka.

Hari kehancuran besar itu akan segera terjadi bersamaan dengan hancurnya moral manusia saat ini.

Dan sebagai budak peperangan, Jinki masih belum memiliki kuasa untuk melakukan pemberontakan. Ia sendiri  masih ditindas. Ia belum memiliki cukup kekuatan untuk melawan pemerintah. Yang kuatlah yang berkuasa. Saat ini, ia hanya mampu menunggu.

Menunggu dan mengumpulkan kekuatan sedikit demi sedikit.

Dan di tengah masa penantian itu, sang kapten berusaha keras untuk tak membunuh rakyat jelata dalam medan perang. Yang harus dibunuh hanyalah tentara dari kubu musuh. Yang tak bersenjata tak pantas untuk direnggut nyawanya. Bagaimanapun juga, Jinki masih memiliki hati nurani.

DUAKK!

Baku hantam kembali terlihat. Semakin mendekati pusat distrik Sant Julia de Loria, semakin terlihat pula puluhan pasukan humanoid divisi Jinki yang tersisa. Mereka masih berusaha melawan humanoid musuh. Pertempuran antar senjata dan fisik pun terus dibarakan. Jinki dan pasukannya pun turut membantu dengan melemparkan beberapa bom dan melesatkan rudal.

“Lihatlah! Humanoid-humanoid itu mulai mundur!” Salah seorang rekan Jinki mengarahkan telunjuknya ke depan. Jinki menautkan kedua alisnya menatap itu.

“Dan mereka mundur ke arah… Aixovall?”

Ya, benar. Asumsi Jinki tidaklah salah. Sudah pasti yang menjulang megah di hadapannya adalah Aixovall. Aixovall yang dimaksud di sini bukanlah Aixovall nama desa yang dekat dengan Sant Julia de Loria. Melainkan sebuah benteng utama yang didirikan Andorra di sana. Benteng utama ini diberi nama yang sama dengan desa mereka. Alasan dibalik itu, Jinki juga tidak tahu.

Aixovall. Sebuah benteng dengan dua pillar megah di depannya. Benteng yang didirikan di atas gunung—yang saat ini berubah menjadi gundukan tanah berlapis metal dan baja—terlihat begitu besar dan sangat kompleks. Beberapa meriam beserta rudal—terlihat menantang di setiap sudut dan pusat benteng. Meski bukan merupakan floating fortress seperti Aeon, namun Aixovall juga merupakan sebuah benteng super kokoh yang tak bisa dengan mudah diruntuhkan begitu saja.

Diperkirakan, benteng seperti itu mampu menahan serangan nuklir kecil sekalipun. Karena yang Jinki dengar, Aixovall telah dilapisi membran pelindung berteknologi tinggi yang mampu menangkal berbagai macam serangan hingga radiasi. Dan misi saat ini bukanlah untuk menghancurkan Aixovall. Melainkan hanya melumpuhkan beberapa orang penting yang ada di balik benteng itu.

Dan salah satu cara untuk menghancurkan kubu musuh dibalik layar itu adalah, dengan mencoba menyusup masuk ke dalam Aixovall.

“Kalian semua! Sebisa mungkin alihkan perhatian mereka. Dua orang dari kalian dan satu unit humanoid akan ikut mengiringiku untuk menyusup ke dalam sana.” Jinki menjabarkan strateginya. Segenap pasukan infanteri mengangguk affirmatif dan segera melaksanakan tugas mereka masing-masing. Aixovall terlihat fokus menyerang pasukan humanoid divisi Jinki. Sebelum jumlah humanoid Jinki semakin menipis, ia harus segera menyusup ke dalam benteng.

“Gerbang benteng dijaga ketat, Kapten!” Rekan Jinki memberi peringatan. Sang kapten pun mengangguk dan segera mencari tempat persembunyian untuk membidik penjaga gerbang dari kejahuan.

“Ada tiga orang penjaga. Masing-masing dari kalian membidik satu penjaga. Untuk humanoid penjaga benteng, H-97 akan menembakkan rudalnya.”

“Siap laksanakan, Kapten!” Rekan pasukan Jinki segera membidik target masing-masing. H-97—humanoid yang mendampingi Jinki juga bersiap melesatkan rudalnya. Dan tak sampai hitungan menit, tembakan pun berhasil menumbangkan para penjaga benteng. Jinki sendiri dengan mudah melakukan headshot hanya dengan M4 Carbinenya.

“Ayo cepat kita masuk! Sebelum alarm benteng mereka dibunyikan!”

Tak membuang waktu, pasukan jerman itupun memasuki Aixovall. Pasukan Andorra yang ada di dalam benteng pun menyerbu dan Jinki memulai gerilyanya. Baku hantam secara fisik dan lesatan peluru menjadi resistensi nyata di kala itu.

Dorr! Dorr! Duakk! Blamm!

“Aarrgghh!” Jeritan kekalahan musuh memekak telinga. Tanpa ampun, Jinki menembakkan M4 Carbinenya dengan bengis dan cepat. Tak memberi kesempatan pada satupun musuh untuk melayangkan serangan, Jinki terus saja menyerbu dan menghabisi siapa saja yang berani menghadang jalannya.

“Kapten! Kita harus segera menemukan ruang utama! Benteng ini seperti labirin. Apa yang harus kita lakukan?”

“Berpencar pun akan sulit karena benteng ini sangat luas dan kompleks. Tapi kita juga tak bisa membuang waktu lebih lama lagi di sini!” Jinki menghentikan langkahnya untuk sejenak dan mengarahkan atensi pada rekan humanoidnya. Ada satu solusi yang bisa ia lakukan meskipun ia sedikit ragu.

“H-97, scan und verfolgen diese festung karte!”

Verstanden!”

Dengan bahasa jerman, Jinki memerintahkan humanoidnya untuk mentracking map dari benteng Aixovall. Dan tak butuh waktu lama untuk mendapatkan data map yang ada. H-97 tak menemukan tanda-tanda adanya proteksi sistem di dalam benteng. Hacking data pun dapat dilakukan dengan mudah.

“Tiga menit dari titik ini jika ditempuh dengan berjalan kaki, ke arah barat daya. Ruang kontrol utama benteng ada di lantai dua.” Penjelasan itu ditranskrip ke dalam bahasa native masing-masing dikarenakan dua orang pasukan Jinki yang lain tak terlalu paham bahasa jerman. Jinki mengangguk mendengar itu dan lantas bergegas ke arah yang ditunjukkan.

Semakin dekat menuju ruang control utama, semakin banyak pula musuh yang harus dihadapi Jinki.

BLAM!

“Brengsek!” Jinki mengumpat kesal. Sebuah bom ringan dilemparkan begitu saja untuk menghadang langkahnya. Beruntung sang kapten berhasil menelak ledakan kecil itu. Dan tembakan demi tembakan pun kembali dilesatkan dengan cepat.

“H-97, verteidigen uns!“

Verstanden!” Jinki kembali memerintahkan H-97 untuk menjadi perisai. Humanoid itupun segera maju dan menghadang segala tembakan musuh. Bersamaan dengan itu, Jinki dan dua orang rekannya yang lain mencoba untuk menembak pasukan musuh. Satu persatu berguguran hingga pasukan infanteri berganti dengan pasukan humanoid.

“Sepuluh unit humanoid ada di hadapan kita. H-97 sedikit mengalami kerusakan di area dada dan bahu, Kapten!”

“Dalam keadaan seperti ini, H-97 tak akan mampu bertahan lebih lama lagi.” Jinki berpikir keras. Meskipun humanoid bukanlah manusia dan diciptakan sebagai tumbal perang, entah mengapa rasa tak tega itu tetap terpatri di hati Jinki. Pasukan A.I memang memiliki kecerdasannya sendiri. Dan meskipun mereka tak dianugerahi perasaan seperti manusia, namun loyalitas yang terprogram ke dalam sistem mereka tetap membuat Jinki terkesan.

“Aku akan menghadang mereka semua, Kapten. Majulah ke ruang kontrol secepatnya. Sistem self destruct akan kuaktifkan untuk menghancurkan mereka.” Pernyataan H-97 yang berbahasa native itu membuat Jinki terdiam. Nasib akhir H-97 sudah jelas. Ia akan binasa sepenuhnya. Peledakan diri adalah sistem terakhir yang sudah terprogram di setiap humanoid. Sebuah sistem penghabisan untuk membinasakan musuh dalam jumlah besar.

Tak ada yang bisa Jinki lakukan selain berterima kasih.

Ich danke Ihnen für die Bedienung uns.“

 “Ich freue mich, mein Herr.“ Dan dengan itu, H-97 mulai maju dan mengaktifkan sistem peledakan diri. Jinki dan dua pasukan infanterinya segera berlari menuju ke ruang kendali utama.

BLAAAMM!

Ledakan hebat memekak telinga. Jinki menggertakkan deretan giginya dan terus menerjang ke depan.

.

.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


“Jenderal! Ada penyusup di benteng kita!”

“Bedebah! Bagaimana bisa penyusup menerobos pasukan pertahanan kita!”

Sang jenderal tampak murka. Para bawahannya ketakutan dan tak mampu berkomentar. Pria berkebangsaan Andorra itu mengepalkan kedua tangannya dan lantas berdiri di dekat mesin kendali utama benteng. Layar monitor yang memantau sudut-sudut benteng pun memperlihatkan sosok Jinki dan dua rekannya yang semakin dekat dengan ruang sang jenderal.

“Sebentar lagi mereka akan masuk kemari, Jenderal!”

“Kalau begitu langsung tembak saja kepala mereka!”

“B-Baik, Jenderal!” Segenap pasukan pertahanan yang terdiri dari beberapa infanteri daan humanoid segera membidik ke arah pintu. Keheningan menusuk masa. Hingga pada akhirnya…

BLAAMM!

Daun pintu didobrak dari luar dan terbuka lebar.

“TEMBAK SEKARANG!”

Darr! Darr! Darr! Blaamm!

Peluru dilesatkan bertubi-tubi. Tak ada tanda-tanda keberadaan Jinki dan dua rekannya. Dan sesuatu yang mengejutkan terjadi.

Blamm!

“B-Brengsek! Bom Asap!” Sebuah bom asap dilesatkan dari luar, membuat ledakan asapnya menyelubungi ruangan. Dan tembakan balasan pun dilesatkan Jinki dan dua rekannya tepat mengenai kubu lawan.

Darr! Darr! Darr!

Aaarrgghh!” Pasukan pertahanan berjatuhan. Jinki melesatkan M4 Carbinenya tepat di dada dan kepala lawan. Sedangkan dua rekannya yang lain mencoba melumpuhkan pasukan humanoid yang ada di sana. Dan tak sampai hitungan menit, tersisa Jenderal dan dua orang pasukan pertahanannya. Mereka terpojok.

“Menyerahlah, Jenderal Vincent!”

“Cih!” Ancaman Jinki tak digubris. Pasukan pertahanan melangkah mundur dan waspada. Bidikan terarah ke masing-masing musuh. Jinki sendiri telah mengarahkan M4 Carbinenya ke arah jenderal.

Jenderal Vincent menyeringai sinis. “Kau pikir, aku akan sudi untuk menyerah begitu saja? Lebih baik aku mati daripada menjadi tawanan Jerman!”

“Aku tak berniat untuk membunuhmu, Jenderal. Kami masih ingin berunding baik-baik denganmu. Tujuan kami menjajah Andorra adalah untuk persediaan amunisi perang kami. Kami jamin, rakyat-rakyatmu tak akan tertindas selama berada dibawah kepemimpinan Jerman. Spanyol dan Perancis bahkan sudah tergabung ke dalam kepemimpinan negara kami.” Jinki berdiplomasi. Namun, Jenderal Vincent masih tetap persisten dan keras kepala.

“Andorra adalah kebanggaan kami. Dan kami berprinsip untuk tetap berdiri sendiri tanpa adalah kuasa dari negara lain. Dan kami tak akan sudi Andorra dijadikan sebagai amunisi perang kalian. Selama ini kami berusaha keras mengembangkan teknologi kami. Dan tak akan semudah itu merebutnya begitu saja.”

Jinki membisu mendengar itu. Di satu sisi, ia dapat memahami perasaan segenap bangsa Andorra. Peperangan ini memanglah tidak adil. Jinki sendiri juga tak bisa mengklaim bahwa kebijakan negara yang membawainya sudah benar. Karena ia hanyalah budak yang dipaksa untuk berperang.

Ia juga merasa tak pernah diberi keadilan.

Hingga pada akhirnya, makna keadilan itu sendiri mengabur karena sudah lama dunia ini menganut paham kebengisan dan tak berperikemanusiaan.

“A-Apa yang kau lakukan?” Jinki terhenyak saat Jenderal Vincent mulai menekan beberapa tombol pada komputer utama. Hingga bunyi alarm yang mencurigakan mulai terdengar dan pasukan pertahanan jenderal sendiri terlihat syok.

“Pernahkah kau berpikir bahwa Aixovall adalah sebuah benteng yang megah dan kokoh?” Vincent menyeringai. “Tapi jangan salah. Aixovall bukan hanya sekedar benteng pertahanan Andorra.”

“J-Jangan-jangan—“ Jinki tak mampu melanjutkan perkataannya. Ia terlalu syok untuk memahami realitas yang terjadi. Rekan Jinki pun memberi peringatan.

“K-Kapten Onew! S-Sepertinya, ia hendak meledakkan benteng ini!”

“Jackpot! Aixovall sebenarnya adalah benteng penyimpanan Teserrat. Bom nuklir kebanggaan kami dengan kekuatan hampir 200 ribu kiloton!”

“APA!” Jinki memandang horror. “D-Dua ratus ribu kiloton? Apa kau gila, hah! Tidak hanya Andorra! Spanyol dan Perancis juga akan terkena imbasnya dengan ledakan fatal seperti itu!”

Vincent tertawa keras.

“Tak akan ada yang bisa selamat. Sejauh apapun kalian kabur, kalian akan hancur menjadi debu dalam waktu sepuluh menit dari sekarang.”

“S-Sial!” Jinki menggeram jengkel. Dua rekannya yang lain tampak pucat dan hilang harapan.

“A-Apa yang harus kita lakukan sekarang, K-Kapten? Ini di luar dugaan! Kita semua akan mati!”

“Laporkan pada jenderal…”

“A-Apa?”

“Cepat laporkan situasi kita sekarang pada jenderal!”

“T-Tapi kapten—“

“LAPORKAN SAJA!” Jinki habis kesabaran. Dengan panik, pada akhirnya rekan Jinki mengangguk dan mencoba untuk mengirim pesan pada Jenderal G-Dragon. Kesempatan hidup mereka semakin nihil.

Jinki menunduk dengan pandangan nanar. M4 Carbine miliknya semakin tergenggam erat. Rasa takut meracuki hatinya.

‘S-Sial… A-Apakah hidupku akan berakhir sampai di sini saja?’


.

.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


“Cih! Sudah kuduga. Mereka akan menjalankan rencana kotor seperti itu.”

GD menggeram kesal. Laporan terakhir yang disampaikan rekan Jinki membuatnya berpikir keras. Ia tak bisa membiarkan bom nuklir berkekuatan 200 ribu kiloton itu meledak begitu saja. Ini juga menyangkut nyawa para rakyat yang tak bersalah. Dampaknya terlalu fatal. Dengan musnahnya Andorra, mereka tak akan memiliki amunisi untuk peperangan selanjutnya.

Kekalahan mutlak akan berada di pihak mereka.

“Kalau begini caranya, terpaksa aku harus meminta bantuannya.” Tak butuh waktu lama bagi sang jenderal Jerman untuk menghubungi seseorang. Satu orang prajurit setianya yang mungkin bisa menjadi savior. Konon, tak ada yang mengerti betul identitas aslinya kecuali GD dan beberapa atasan yang lain.

Itu karena sang prajurit hanya mengemban misi-misi berbahaya dengan resiko teratas.

“Max… kau paham dengan situasi terakhir di Andorra, bukan?”

“Ya, ya… aku paham…” Terdengar suara yang terkesan malas dari sambungan yang lain. GD menghela napasnya. Ia sedikit merasa bersalah.

“Maafkan aku. Aku tahu kau baru saja kembali berperang dengan Rusia. Tapi tolonglah. Ini situasi yang sangat darurat. Hanya kau saja yang mampu meredakan masalah ini.”

“Baiklah…” Tanpa basa basi lebih lanjut, sambungan pun terputus. Selalu saja seperti ini. GD tak pernah sekalipun memberikan spesifik tugas apa yang harus dilakukan prajuritnya yang satu itu. Ia benci diperintah. Dan tanpa diperintah pun, ia sudah mampu menyelesaikan segenap misinya dengan baik.

GD lantas bertopang dagu.

“Kuserahkan semuanya padamu, Max. Tolong selamatkan prajurit-prajurit divisi duaku dan juga Andorra.”


.

.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Activació Teserrat en 9 minuts.”

Sebuah peringatan berbahasa Catalan terdengar di penjuru benteng. Meski tak terlalu paham, Jinki menarik kesimpulan bahwa ia hanya memiliki waktu 9 menit sebelum nuklir diledakkan sepenuhnya. Di tengah masa genting itu, ia hanya mampu berlari dengan dua rekannya, mencoba untuk keluar dari benteng.

“Apakah tak ada cara untuk menghentikan peledakan nuklirnya?” Jinki menggemakan pertanyaan retoris. Di saat seperti ini, ia membutuhkan satu unit humanoid untuk menganalisa probabilitas dan mencari dimana letak nuklir itu disembunyikan. Namun, H-97 telah musnah sepenuhnya.

“Coba cari tahu, apakah ada humanoid kita yang tersisa di luar benteng?”

“Aku mendapatkan sambungan kontak dari H-76, Kapten!”

“Segera sambungkan!” Jinki menghentikan langkahnya untuk sesaat dan menanti respon dari H-76. Meski tak terlalu jelas, namun Jinki masih dapat mendengar suara humanoid itu.

“Captain, what can I do for you?” humanoid dengan default inggris. Jinki segera menyatakan perintahnya.

“Can you search the area of the nuclear in this fortress and hack the security system, please?”

“Understood. Please, wait for a minute.”

Keheningan terjadi sesaat. Jinki menggigit bibir bawahnya, harap-harap cemas. Dan tak sampai 30 detik, terdengar jawaban dari H-76.

“I found it. Teserrat is in the ground floor of Aixovall. I can’t hack the security system. Only level S humanoids can do that. I’m sorry, Captain.”

“Level S humanoid?” Jinki mengerutkan dahinya. Ia belum pernah mendengar hal seperti itu sebelumnya.

“Humanoid level S hanya dimiliki oleh pimpinan divisi satu, Kapten Onew. Yang kudengar, Jerman hanya memproduksi satu humanoid level S. Humanoid seperti itu tak bisa digandakan begitu saja seperti humanoid general pada umumnya.” Pernyataan dari rekannya membuat Jinki semakin kalut.

“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Apakah tak ada kabar lanjutan dari Jenderal G-Dragon?”

“Maaf mengecewakanmu, Kapten. Kabar terakhir dari Jenderal hanya menyuruh kita untuk segera keluar dari benteng secepatnya. Itu saja.”

“Dan percuma saja jika kita berhasil keluar dari sini namun nuklir itu tetap meledak. Kita tetap akan mati.” Jinki mengepalkan tangannya. Dua orang rekannya hanya tertunduk diam tak bergeming.

“7 minuts.”

Dan waktu terus berjalan. Tak kenal kompromi.

“Kalian berdua, segeralah keluar dari benteng dan koordinasikan dengan pasukan yang tersisa di luar. Jika memang sempat, kalian pergi sejauh mungkin dengan tank dan humanoid. Aku akan mencoba masuk ke lantai dasar tempat nuklir itu berada.”

“T-Tapi kapten, b-bagaimana denganmu?”

“Doakan saja. Semoga ada keajaiban…” Dua rekan infanteri Jinki tampak terhenyak. Sepertinya, memang tak ada pilihan lain. Waktu semakin menipis. Dan belum tentu nyawa mereka semua akan selamat.

Dicoba atau tidak sama sekali.

“Semoga berhasil, Kapten…” Jinki mengangguk. Dan mereka pun lantas berlari berbeda jalur. Jinki berlari menuju ke lantai dasar. Sebuah doa pun terpatri di hati.

‘Ya Tuhan… selamatkan kami semua…’

.

.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


‘Teserrat. Protoype nuklir ini didevelop Andorra pada tahun 2110 AD. Percobaan pertama di tahun 2122 dengan level ledakan 100 ribu kiloton. Kini, penyempurnaan telah mencapai level ledakan 200 ribu kiloton.’

“200 ribu kiloton, ya? Cukup… menarik.”

Sesosok infanteri elit tampak menyeringai samar. Dibalik wajahnya yang dibalut dengan buff hitam, tersimpan ekspresi yang begitu dingin. Jujur, ia merasa lelah dan malas. Jelas saja ia lelah. Karena ia baru saja didatangkan dari negara seberang hanya dalam jangka waktu beberapa menit. Dengan humanoid level S miliknya—yang memiliki sistem transportasi jalur udara dalam bentuk jet tabung berukuran kecil—akan mudah baginya untuk berpindah lokasi dalam waktu yang sangat cepat.

Dan ia sedikit merasa malas karena mungkin, di matanya misi ini tak terlalu berat seperti misi-misi yang pernah ditugaskan padanya.

“Kemungkinan besar sistem securitynya tak jauh berbeda dengan Rusia.”
Pernyataan yang diguratkan humanoidnya membuat sang prajurit mendecih remeh. Ia pun lantas menekuk beberapa jari tangannya dan melayangkan atensi ke arah Aixovall.

 “Baiklah. Jangan membuang-buang waktu lagi, YU-NO one.”

“Baiklah, Tuan… Max.”

.

.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


CONTRASENYA INCORRECTA! ACCÉS DENEGAT!”

“Sialan!” Jinki merutuk kesal. Sesampainya ia di lantai bawah, ia mendapati nuklir Andorra yang dibentengi oleh terali besi. Ia harus menginput sebuah password untuk mengakses sistem security yang terdapat pada Teserrat.

“Sudah sejauh ini... apakah berakhir begitu saja?”

Jinki semakin kehilangan arah. Sudah beberapa kali ia mencoba untuk menginput password. Namun, sia-sia. Hanya humanoid yang mampu menghack sistem security seperti ini. Dan lagi, humanoid itu haruslah level S.

Jinki pun mulai menghela napas dan bersandar di hamparan terali besi, pasrah. Waktu semakin terkikis. Dan hawa panas semakin menyelimuti lantai dasar. Sesekali Jinki terbatuk karena tak tahan dengan baunya. Sepertinya, efek radiasi luar telah mempengaruhi fisiknya.

“3 minuts.”

Hitungan mundur itu seakan menjadi detik-detik kematian Jinki. Peluh bercucuran. Kepalanya semakin memberat dan pening. Tinggal sedikit lagi, mungkin kesadaran Jinki akan hilang sepenuhnya. Pandangannya pun semakin mengabur dan nanar.

‘Aku tak berharap untuk mati… secepat ini…’

Bayang-bayang masa lalu atas kematian segenap ras Korea semakin terbayang di pikiran Jinki. Ia mungkin adalah satu-satunya orang korea selatan murni yang tersisa di muka bumi. Dan ia bertahan hidup hingga detik ini tanpa memahami secara mendalam apa tujuan yang sebenarnya.

Sebuah pembuktian. Kontribusi. Hidup untuk berperang… dan mati.

Semenjak kecil, Jinki tak pernah berharap untuk tumbuh sebagai seorang prajurit perang. Yang ia inginkan hanyalah hidup di era modern dan ingin menjadi penemu yang hebat dalam bidang teknologi. Namun, sayang. Takdir berkata lain. Ia harus di hidup di tengah medan pembantaian. Pembunuhan. Tirani bengis. Dan ketidakadilan.

Ia harus hidup di tengah-tengah kehancuran masyarakat. Dan berada diambang kematian.

Mungkin, ada hikmah untuk para korban yang sudah meregang nyawa lebih dulu. Karena percuma. Meskipun mereka hidup hingga di detik ini, hanya akan ada penyiksaan yang menanti mereka. Lebih baik mati dengan damai daripada tersiksa sepanjang hidup menginginkan mati. Sudah tak ada lagi kebahagiaan di dunia ini. Sudah tak ada secercah harapan.

Namun, Jinki masih memiliki harapan terakhir.

Prajurit misterius itu.

Prajurit yang sudah memberikannya kesempatan untuk hidup. Yang sudah memberinya alasan untuk bangkit dan berjuang. Untuk berperang dan mati terhormat.

Prajurit berekspresi dingin itu.

Jinki ingin menemuinya sekali lagi. Ia ingin mengatakan bahwa ia mampu. Ia mampu bangkit dari keterpurukannya selama ini. Ia bukanlah lelaki lemah. Dan M4 Carbine yang selalu menemaninya dalam berperang. Ia ingin mengembalikan senjata itu. Dan mungkin, ia ingin berterima kasih atas hutang nyawa yang sudah diberikan.

“1 minuts.”

Alarm peringatan pun berdentang semakin keras. Bersamaan dengan napas Jinki yang semakin terputus, kapten divisi dua itu perlahan kehilangan kesadarannya. Dan sesuatu yang mengejutkan pun terjadi.

“Tuan Max, sepertinya ada prajurit kita di sini.”

‘M-Max…?’ Suara khas humanoid. Jinki tak mampu lagi menalar apa yang terjadi. Fungsi otaknya mengalami falter. Yang ia dengar hanya samar-samar suara lelaki. Suara yang sepertinya sangat familiar dalam ingatan Jinki. Suara lantang dan tegas yang pernah ia dengar sebelumnya.

Suara dari orang dengan kepribadian sedingin es.

“Kuserahkan nuklir itu padamu, YU-NO one.”

“Baik, Tuan!”

Dan sebelum pandangan Jinki menggelap sepenuhnya…

Seseorang sudah mendekap dan menjunjung tubuhnya di punggung. Membawanya keluar dari ruangan berbahaya itu.

Menyelamatkannya.

Seseorang telah menyelamatkan hidup Jinki… sekali lagi.

TBC
-------------------------------------------------------------------------------------

A/N: FF yang 90 persen isinya perang bla-bla. Niatnya bikin oneshot tapi kayaknya jadi panjang lebar begini. Mungkin kalo gak twoshot ya threeshot. Dan Mohon maaf belum banyak interaksi ChangNew disini.



Makasih buat yang udh baca dan saya seneng banget kalo ada yang bisa ninggalin komen untuk feedback. Harap bersabar ya buat apdetnya. Bye~ ^^

3 comments:

  1. Tegang eoh...=_= dr awal baca sampe akhir selalu ngerutin dahi
    TBC di saat tegang pula jangan sampe mimpi saya juga ntr jd tegang
    baca FF ini jd keinget sama code Guess cuman Beda
    dari tadi nyai namanya Changmin kapan keluar...akhirnya ketemu juga..walaupun Jinjin gak sadrin diri dan blm tentu dia tau kl itu Changmin..
    #kak kapan lajut Part 2 TT_TT

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sorry baru bisa bales sekarang. Kuusahakan untuk ngelanjutin secepatnya. Makasih ya buat komennya. Mudah2an bulan April ini bisa apdet ^^

      Delete
  2. amazinggg bngt pkoknya udah ga bisa berkata kata, aku suka banget sama sama ff ini ceritanya udah berhasil membuatku terhanyut, udah brasa nonton film kebayang banget situasinya, next chapter amat sangat ditunggu keterbitannya :D

    ReplyDelete