Warning : Shounen Ai/BL very strong hint in this ones. Don't like? Don't read.
Bergeming.
Hening ini bergeming di sekitar entitasku. Nalarku mengambang bebas, entah kemana. Dua iris obsidian pekatku menatap ke satu sisi.
Dan iris ini menemukanmu, menemukan obsidian milikmu. Dan iris ini berkaca, mengharapmu melayangkan pandangan simpati.
Dan kau hanya terdiam. Terdiam dan tetap terdiam.
Dan kedua irisku terpejam. Kelam. Tergenang malam.
Hei, Hyung. Aku ingin merengkuhmu.
Salahkah jika bentuk dedikasi ini hanya akan semakin... melukaiku?
Salahkah?
.
.
Consectatio
© Viero D. Eclipse
Disclaimer:
SHINee and DBSK/TVXQ are belongs to SM Entertainment, God and them self
Casts
and Pairing: Lee Jinki ‘Onew’ and Shim Changmin ‘Max’ (ChangNew)
Genre:
Drama/Angst
Rated:
T
Warning:
AU, Absurd, Jinki’s POV, Ambiguity, shounen ai, OOC, plotless, redundancy,
typo(s).
Don't
Like? Don't Read!
-------------------------------------------------------------------------------------
.
Ini
hanyalah secercah delusi dedikasi... yang tak akan pernah kau lihat.
.
-------------------------------------------------------------------------------------
Untaian rambut karamelku tersibak lembut. Kusematkan jari jemariku dan kusanggahlah ujung daguku sendiri. Pandanganku tampak hampa, kosong, seolah ada kabut enigma yang mengaburkan tatapanku. Dan mulutku pun terkatup rapat dalam diam, membiarkan genangan angin berhembus dan menghasilkan suara bising yang tak kongkrit sama sekali.
Jika orang lain lebih senang terdiam, berkhayal dan terlarut dalam dimensi lamunan yang ia ciptakan sendiri, maka aku pun demikian. Tak ada bedanya. Aku sungguh tak ada bedanya dengan mereka.
Lihatlah aku.
Terduduk diam di bawah pohon dengan panorama taman yang menaungi eksistensiku. Tak melakukan apapun. Hanya terdiam, merengkuh kedua lututku dan menjadikannya tumpuan untuk menyandarkan sebagian kepalaku.
Aku hanya bergeming di sana. Tak bersuara. Tak berucap apa-apa. Meski pada akhirnya, sekujur ragaku tak bergerak sama sekali, namun jala nalarku nyatanya berada dalam keadaan yang sangat kontradiksi.
Nalarku berpikir. Ah, tidak. Nalarku tersesat dalam labirin retrospeksi yang tak berujung. Ya. Sepertinya definisi itu terdengar lebih akurat.
Rasioku terus bekerja, melakukan segenap pertimbangan-pertimbangan logika yang menghasilkan banyak sekali probabilitas konsekuensi. Dahiku pun berkerut dengan kontur keseriusan dalam parasku. Semakin lama, ritual retrospek yang kulakukan membuat perasaanku semakin terombang-ambing.
Bak sebuah kapal yang hendak tenggelam, aku mencoba bertumpu pada entitas apapun dan mencoba untuk mempertahankan nahkoda logikaku—agar tak terlahap laut kegentaran. Agar tak semakin terpuruk.
Aku seolah menatap gambaran masa lalu yang dipenuhi bulir-bulir kelabu. Gambaran itu bergerak cepat, silih berganti, begitu cepat, terlampau cepat hingga membuat kepalaku terasa pening.
Aku seolah menatap gulungan pita pada sebuah kaset rusak yang terus ditarik ulur hingga beberapa bagiannya terputus dan tak bisa disambungkan lagi. Aku seolah menatap rekaman video lampau dengan beberapa adegan yang tersendat secara tak statis.
Aku terus menatap itu. Menatap gambaran masa lalu yang seolah menyatu dalam indahnya panorama taman di hadapanku.
Sampai pada akhirnya... aku pun tiba.
Tiba pada sebuah penjuru retrospeksiku.
Aku menatapmu.
Seonggok entitas namja berambut raven yang menghunusku dengan dua iris obsidian pekat itu.
Kau berdiri di sana. Tidak nyata tentu saja. Hanya sebatas delusi semu yang kuciptakan sendiri. Kau terus berdiri di hadapanku dan melayangkan seutas senyum ambigu yang tak pernah kupahami keharfiaan maknanya. Jemari itu kau julurkan padaku, mencoba memikatku untuk meraihnya.
Kau menatapku. Lembut.
“Jinki-yah...”
Dan aku memejamkan mataku.
Retoris.
Panggilanmu sungguh retoris... Hyung.
Dan air mataku mengalir. Seutas senyum tipis yang kusimpulkan hanya membuatku terlihat lebih menyedihkan saja. Rasa sakit ini menikamku lalim. Dan aku pun mulai tertawa. Aku mulai tertawa di tengah deru butiran air yang memercik deras pada kedua mataku.
Andaikan saja...
Andaikan saja eksistensimu bukanlah sekedar gurat transparan—hasil proyeksi dari harapan utopisku sendiri.
Tidak.
Hal itu tak akan pernah terjadi.
Sampai kapanpun, kau hanyalah pijaran imaji.
Sebuah pijaran imaji yang rawan untuk memudar.
Rawan untuk sirna begitu saja.
.
.
Aku mengejarmu.
Kau menjauh.
Aku merengkuhmu.
Kau lenyap begitu saja.
.
.
Kulangkahkan kedua kakiku. Blur. Segenap entitas di sekitar jalan yang kutapaki tampak berlalu semakin cepat dan semakin mengabur. Rumpunan orang-orang yang menyelubungiku seolah membuatku merasa sesak. Namun di saat yang bersamaan...
Aku merasa kesepian.
Aku seolah berpijak di sebuah dunia. Sebuah dunia dimana pandangan, hati dan nyawaku seolah tak lagi berada di sana. Entitasku masihlah nyata. Terlihat eksis dalam atensi segenap manusia yang memandangku. Dan aku tertawa. Tertawa dengan kenaifan mereka—yang tak sadar jika entitas namja berambut karamel yang mereka tatap—nyatanya telah mati dari dalam.
Ya. Mati.
Aku telah mati dari dalam. Telah rusak. Rapuh.
Mata hati terkoyak hancur. Aku lebih terlihat seperti seonggok boneka yang dipaksa hidup dengan raga seadanya. Jika dulu aku dikenal sebagai sesosok namja yang begitu ceria, ramah dan senang menebarkan senyuman. Kini, aku hanyalah sesosok namja yang begitu dingin, angkuh. Dengan senyuman pahit yang semakin... membusuk.
Aku telah mati. Diriku yang dulu telah mati.
Aku bahkan tak mengenali sosokku sendiri.
Lee Jinki...
Aku tak yakin jika aku masih mengenali nama itu lagi.
Dan ini semua ulahmu.
Kehancuranku adalah mahakarya terindahmu. Iya ‘kan, Hyung?
.
.
Kau mengejarku.
Aku menjauh.
Kau merengkuhku.
Aku lenyap begitu saja.
.
.
Kutatap siluet bayanganku sendiri. Satu-satunya entitas yang tetap setia untuk selalu mengikuti derap langkah kakiku. Aku tersenyum menatapnya. Ia bahkan terlihat lebih bernyawa daripada fisikku sendiri. Warna gelap dan hitam itu terlihat lebih cerah jika dibandingkan dengan warna kulit putihku yang memucat ini.
Bayangan itu seolah bernapas. Hingga aku mulai ragu sebenarnya siapa yang menjadi bayangan di sini.
Bayangan itu terlihat lebih memiliki hasrat untuk hidup, jika dibandingkan dengan entitasku yang semakin meredup. Aku kembali membisu, kembali terjebak dalam partitur memoria tentangmu.
Jika eksistensimu masihlah nyata dan tak bertransisi menjadi percik elegi, kau pasti sudah menghunusku dengan lentera cahaya dan melenyapkan seonggok bayangan yang sudah berani membuatku terlihat mati.
Kau pasti akan membasuhku dalam eliksir kehidupan yang begitu indah.
Dan kini, percik eliksir itu tak lagi mampu kurasakan.
Euforia yang kau tabur tak lebih dari sekedar racun yang perlahan semakin mengikis semangat hidupku.
Dan lagi-lagi kau tersenyum. Kau muncul di hadapanku dan tersenyum. Kau berani menjulurkan jemari ke arahku dan tersenyum. Kau tak gentar menatap kehancuranku dan tersenyum.
Air mataku kembali mengalir dan kau... tetap tersenyum.
Kau terus saja tersenyum. Tersenyum. Dan sampai kapanpun... tetap tersenyum.
Dan aku kian melemah. Tak berdaya. Hanya mampu merengkuh bayang ilusimu.
Sia-sia.
Aku tak akan bisa kembali hidup dengan kepergianmu.
.
.
Aku mengejarmu.
Kau mengejarku.
Aku merengkuhmu.
Kau merengkuhku.
.
.
“Saranghaeyo... Jinki-yah.”
Ada sebuah belati yang menusuk tepat di jantungku tatkala bisikanmu memantul kuat dalam benakku. Sekujur tubuhku seakan terkoyak. Aku hanya ingin menghujammu dengan sumpah serapah. Kau berani mengingkari janji. Kau bahkan sudah berani membuatku hancur. Kini, lagi-lagi kau datang, meracuki logikaku.
Sebenarnya apa lagi yang kau inginkan dariku, Hah!
Kau merengkuhku. Mendekapku erat.
Aku berusaha lepas darimu dan kau semakin memelukku rapat.
Air mataku berguguran dan kau hanya terdiam.
Dan di saat aku ingin membalas dekapanmu, kau pun sirna begitu saja.
“S-Saranghaeyo... Changmin-hyung...”
Aku membisikkan frase itu. Tidak. Kini aku mulai meneriakkan kalimat itu sekeras mungkin. Aku tak peduli jika tenggorokanku sakit. Aku bahkan tak peduli jika suaraku habis dan tubuhku tersungkur ke bawah sekalipun. Aku hanya ingin kau mendengarku. Mendengar sebuah pengakuan yang sudah membuatku hancur. Dan kau tak akan pernah mendengarnya. Kau tak akan pernah mendengar jeritku.
Kau hanya terdiam di hadapanku. Dengan simpulan senyum tipis di paras tampanmu. Tak peduli dengan kontur kehancuranku saat menatapmu yang semakin sirna. Entitasmu memudar. Bak butiran pasir yang terhempas angin, proyeksi eksistensimu pun semakin terkikis tak berbekas.
Hingga tersisa sebuah batu yang berdiri tegar.
Sebuah batu nisan... dengan ukiran namamu di sana.
Shim Changmin.
Kau telah pergi begitu saja. Dimensi firdaus nyatanya lebih menggiurkan untukmu. Kau tak peduli dengan permohonanku. Kau tak mau tahu dengan dedikasi hidupku untukmu.
Tak mengapa.
Aku sungguh tak keberatan dengan cemooh realita itu.
Jika kau membuatku berjanji untuk selalu berbahagia di atas kematianmu...
Mianhe.
Aku tak akan pernah bisa melakukannya, Hyung.
Semenjak kau menghembuskan napas terakhirmu...
Aku pun turut merengkuh jasadmu.
Semenjak kau memejamkan kedua matamu untuk selamanya...
Aku pun turut tertidur... bersamamu.
.
.
Kau menjauh.
Aku menjauh.
Kau lenyap begitu saja.
Dan aku pun turut lenyap... bersamamu.
.
.
“Jinki-yah.”
“Hmm?”
“Saranghaeyo.”
“...”
“...”
“Nado saranghaeyo... Changmin-hyung.”
FIN
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Just a short, gloomy, meaningless and very absurd fic.

0 komentar:
Post a Comment