Fate © Type-Moon
Distance Point © Viero D. Eclipse
Pairing: Gilgamesh x Saber
Genre: Romance/Drama
Rated: T
Warning: Twoshot, AU, OOC, Redudansi, Typo, Missword, etc
Don't like? Don't read!
------------------------------------------------------------------------------------------------------
-Part 2-
Together Again
"Hei, Archer! Berhentilah berlari! Aku lelah mengejarmu!"
"Ayolah, Artur-chan! Calon istriku harus bisa mengimbangiku dalam segala hal!"
"Apa? Ca-Calon istri?"
.
.
Gambaran masa lalu menghantui nalar. Gilgamesh terlihat merenung di dalam mobilnya. Kedua mata darahnya tertuju ke arah panorama kota di balik jendela. Meski raga berada di sana namun benak pria berambut emas itu melayang entah kemana.
"Ah, Archer! Berhenti! Aku tak mau bermain permainan Raja dan Ratu ini lagi!"
"A-Apa? Berhenti? Kenapa, Artur-chan? Apa kau tak mau menjadi ratuku lagi? A-Artur-chan membenciku, ya?"
"Bukan begitu. Aku hanya lelah. Itu saja. Dan jangan memanggilku Artur-chan. Kedengarannya aneh sekali."
.
.
"Gil? Apa kau tak apa-apa?"
Suara Enkidu tetap tak mampu membuat Gilgamesh bergeming. Labirin retrospeknya masih terus mengembara ke dalam ingatan sepuluh tahun yang lalu. Bayang-bayang Saber semakin terngiang nyata, tak terhapuskan. Pria berambut emas itu seolah tak mampu mengendalikan rasionya sendiri.
.
.
"Lalu... aku harus memanggilmu apa, Artur-chan?"
"Saber."
"Eh?"
"Ayahku selalu memanggilku dengan sebutan... Saber."
"Saber-chan... sebuah nama panggilan yang cocok untuk calon ratuku kelak! Hehehehe..."
"Hei... kenapa kau selalu saja menyebutku sebagai calon ratumu?"
"Itu karena aku sangat menyukai Saber-chan!"
.
.
"Apakah Saber memang benar-benar sudah melupakanku... Enkidu?"
"Gil..." Pria berambut hijau itu hanya dapat melayangkan tatapan iba. Ia paham betul bahwa dibalik dinding keangkuhan dan kesombongan yang dimiliki oleh Gilgamesh, sejatinya sang sahabat hanyalah sesosok pria biasa yang sangat kesepian. Sepuluh tahun berlalu, yang ada di pikiran Gilgamesh hanyalah Saber saja. Ia mengerti, mengapa kawannya itu rela mengorbankan apapun sampai seperti ini.
Hal itu karena Saber...
Adalah akal sehat Gilgamesh.
.
.
"Ne, Saber-chan..."
"Hmm?"
"Aku selalu mengatakan bahwa aku... sangat ingin Saber-chan menjadi istri dan ratuku nanti. Lalu, bagaimana dengan Saber-chan? Apakah... Saber-chan juga menyukaiku?"
"A-Archer..."
"Jika aku benar-benar sudah menjadi Raja nantinya, aku akan memberikan Saber-chan apa saja. Asalkan Saber-chan selalu berada di sisiku."
.
.
"Aku sangat mencintai gadis itu, Enkidu. Aku tak ingin melepaskannya begitu saja. Sepuluh tahun aku berjuang hingga aku berhasil menjadi seorang pangeran pewaris tahta. Sekarang, impian terakhir adalah ini. Aku hanya ingin memiliki Saber sepenuhnya."
Kedua tangan Gilgamesh terkepal erat. Dilema benar-benar mempengaruhi benak Pangeran Uruk itu sepenuhnya. Enkidu bahkan sedikit terperanjat. Pria yang ada di hadapannya itu sungguh bukan seperti kawannya sendiri.
Ia tak kenal dengan Gilgamesh yang berbalut duka.
Kawannya itu adalah sesosok pria yang sangat kuat. Sosok pria yang arogan. Egois. Tak akan pernah menyerah dan tak takut terhadap apapun.
Namun, Gilgamesh yang ada di hadapannya saat ini...
"Apa kau akan menyerah begitu saja?"
"H-Hah?"
"Apa kau akan menyerah dan melepasnya begitu saja, Gil?" Enkidu melayangkan tatapan sinis. Jemarinya lantas mencengkram jaket yang tengah dikenakan Gilgamesh. Sang kawan tampak terbelalak, kaget.
"E-Enkidu—"
"Aku tak tahu, sejak kapan kau jadi seorang pengecut seperti ini. Mana dirimu yang dulu? Kau yang kukenal, tidak akan patah semangat seperti ini. Kau pasti akan merebut apa yang sudah menjadi milikmu. Tak peduli dengan cara apapun itu. Dan kau tak akan membiarkan satu orang pun merenggutnya darimu!"
Pernyataan itu bagaikan sebuah tamparan keras untuk Gilgamesh. Kedua rubynya membelalak. Ia tak pernah menyangka bahwa Enkidu akan berkata seperti itu. Dan frase lanjutan yang tergurat dari mulut kawan baiknya itu seolah membuat jantungnya terinjak-injak.
"Oh... jangan katakan bahwa seperti inilah nilai Saber di matamu. Pantas saja gadis itu melupakanmu. Karena kau begitu lemah, Gil! Ia tak akan sudi menjadi istri dan Ratu untuk calon Raja yang lemah sepertimu!"
"Cu-Cukup, Enkidu! Aku tidak lemah! Dan Saber tidak seperti itu! Dia milikku! Dia hanya milikku seorang!" Gentar, sekujur tubuh Gilgamesh tampak gemetar. Pria berambut keemasan itu lantas mencengkram kepalanya dengan raut frustasi. Enkidu mengguratkan tawa.
"Ahahahahahaha! Oh, ya? Apa kau yakin soal itu? Bagaimana jika ada orang lain yang sudah memiliki hati dan cinta Saber saat ini?"
"Ti-Tidak! Itu tidak mungkin! AKAN KUBUNUH SIAPA SAJA YANG BERANI MERENGGUT SABER DARIKU!"
Kraaakkk!
Sebuah kaleng minuman tampak remuk akibat benturan tinju yang dilayangkan oleh Gilgamesh. Pria berambut keemasan itu benar-benar emosi. Kedua mata darahnya memicing tajam. Tidak. Ia tak rela kehilangan Saber begitu saja. Saber adalah harta yang paling berharga untuknya. Dan ia akan mendapatkan harta itu kembali.
Bagaimana pun caranya.
"Tch! Aku sangat mencintai Saber. Dan aku akan menjadikannya sebagai milikku. Tak peduli jika ia tak sudi menikahiku. Aku hanya tinggal memaksanya dan menggeretnya langsung ke pelaminan jika perlu! Di dunia ini, satu-satunya wanita yang kuinginkan hanyalah Artur! Bukan orang lain!" Determinasi itu kembali terbangung dengan kokohnya. Gilgamesh melayangkan tatapan tajam ke arah kawan baiknya.
"Dan jika memang ada orang keparat yang berani merebut Saber dariku, maka aku hanya tinggal menghancurkannya saja. Tak peduli siapapun keparat itu!"
"Hah... akhirnya, kau kembali juga. Ini baru kau yang kukenal. Tch! Kau membuatku khawatir saja."
"Eh?" Gilgamesh menautkan alisnya. Enkidu hanya menggeleng dengan simpulan senyum di parasnya. Ditepuknya pelan bahu Pangeran Uruk itu sembari berkata, "Dari awal, gadis itu adalah milikmu. Kalau kau ingin memilikinya, kau hanya tinggal mengingatkannya dengan sedikit... perubahan."
"Perubahan?" Enkidu mengangguk mengiyakan. Dan penjelasan lanjutan dari pria berambut panjang itu pada akhirnya membuat Gilgamesh mengerti.
"Kau sempat bercerita padaku bahwa kau mengenal Saber saat berada di taman Shibuya sepuluh tahun yang lalu 'kan? Gadis itu mengenalmu sebagai 'Archer'. Mungkin cara yang tepat untuk mengingatkan dia adalah; kau harus kembali menjadi sosok Archer. Dan jika kau beruntung, mungkin gadis itu bisa menerimamu kembali, Gil."
"Sosok... Archer?" Gilgamesh kembali merenung. Keadaannya saat ini sungguh berbanding terbalik dengan dirinya sepuluh tahun yang lalu. Sosok Archer yang ramah dan menyenangkan, telah berevolusi menjadi sesosok pangeran yang angkuh dan menyebalkan. Kini, ia pun paham, mengapa Saber tak mampu mengingatnya lagi.
"Mungkin kau benar, Enkidu. Sepertinya, aku harus kembali menjadi diriku yang dulu." Sebuah resolusi didapat. Enkidu hanya tersenyum dengan keputusan bijak itu.
"Tenang saja, Gil. Mau bagaimanapun dirimu, kau tetaplah Gilgamesh. Dan aku yakin, gadis itu pasti akan mencintaimu... apa adanya."
Frase yang cukup bijak. Simpulan senyum pun tergurat di paras Gilgamesh bersamaan dengan tertutupnya kedua mata ruby itu. Ya, benar. Sudah saatnya ia mengguratkan perubahan. Kalaupun ia berhak memiliki segala sesuatu di dunia ini, maka satu harta berharga yang berhak mendapat segenap pengorbanan dan usaha keras sang Pangeran Uruk itu hanyalah Saber seorang.
.
.
"Ne, Saber-chan? Bagaimana? Apa Saber-chan bersedia menjadi istriku kelak?"
"I-Itu..."
"Aku sangat menyukai Saber-chan."
"Archer..."
"..."
"..."
"... Suka."
"Eh?"
"Aku juga suka dengan Archer."
"Hah? Be-Benarkah?"
"Um! Sangat suka! Aku sangat suka denganmu, Archer!"
.
.
"Enkidu, bisakah kau arahkan mobilnya ke arah selatan?"
"Arah... selatan?" Enkidu menautkan alisnya. Pangeran dari kota Uruk itu hanya mengangguk dengan tatapan determinasi. Jemarinya lantas menekan sebuah tombol untuk membuka kaca jendela mobil. Hembusan angin yang menerpa telah membuat helai rambut jabriknya perlahan gugur. Enkidu terbelalak. Untuk sesaat...
Ia seperti melihat sosok Gilgamesh yang dulu.
"Ada sebuah tempat yang ingin aku datangi. Sebuah tempat... dimana aku bisa menggapai perubahan yang diinginkan Saber."
~GxS~
Tittt! Tiittt!
"M-Mungkinkah!"
Bel apartemen berdentang keras.
Saber beranjak dari kamarnya dan segera berlari menuju pintu. Jantungnya berdebar, menanti hal yang tak pasti. Ruang hati terus menggemakan satu nama yang selalu disangkal logika.
'Archer... apakah itu kau?'
Kraaakkk!
Dan di saat gadis itu membuka pintu, kekecewaanlah yang harus ia telan kembali. Karena orang yang ada di hadapannya bukanlah orang yang dielu-elukan hatinya. Orang itu bukan sesosok pria berambut emas dan bermata ruby seperti yang ia inginkan. Orang itu bukanlah pangeran yang selalu mendatanginya setiap hari.
"Maaf, Nona. Aku hanya ingin mengantarkan surat tagihan listrik Anda."
"Ah... iya." Setelah menyerahkan surat tagihan, sang pengantar surat itu segera berlalu pergi tanpa kata. Saber terlihat lemas. Ditutupnya pintu dan bersandarlah ia di belakangnya. Emeraldnya memandang sendu. Gadis pirang itu tak dapat menampik bahwa ada jala kerinduan yang tersemat di dalam hatinya.
'Archer...'
Ya. Sudah hampir seminggu Gilgamesh tak mendatangi Saber lagi. Pria itu bahkan tak mengirimi hadiah-hadiah kecil di depan pintu seperti biasanya. Semenjak Saber mengusir dan menolaknya dengan begitu kasar, Pangeran Uruk itu seolah menghilang ditelan bumi.
'Kemana dia? Apakah dia marah terhadapku?'
Rasa bersalah semakin membasuh Saber. Di saat peluru kebenaran telah tertembus ke dalam nalarnya, di saat itu pulalah kebenaran menjauh. Penyesalan telah mengendap begitu besar. Meski Gilgamesh belum tentu adalah Archer, namun entah mengapa, absennya pria itu dari hadapan Saber telah membuatnya terhunus dengan rasa hampa yang begitu menyakitkan.
Ya, benar. Tanpa disadari... ia membutuhkan Gilgamesh.
Bahkan terlalu bergantung dengan Pangeran Uruk itu.
Jantung Saber berdegup kencang. Tubuhnya gemetar tak karuan. Kedua emeraldnya lantas tertuju pada boneka singa pemberian Gilgamesh yang ada di atas meja. Ia lambaikan jemarinya ke arah boneka itu. Seakan ingin menjangkaunya namun tak bisa. Rasanya menyakitkan.
Ia hanya ingin menemui Gilgamesh dan memastikan semuanya.
.
.
"Hei, Kau! Nona Pirang! Menikahlah denganku!"
"I'll make you mine..."
"Hope you like it, My Precious Queen..."
"Apa kau masih tak percaya bahwa yang kuinginkan adalah... kau, Saber?"
"Aku tak peduli meskipun saat ini, kau benar-benar membenciku, Saber. Namun aku akan tetap menepati ikrarku. Aku akan membuatmu menjadi milikku! Apapun yang terjadi!"
.
.
"Aku mencintaimu... Saber."
.
.
"Aku sangat menyukai Saber-chan."
.
.
"A-Archer..."
Labirin retrospek kembali membuat Saber terhenyak. Sudah tak ada lagi keraguan yang muncul. Segenap delusi itu terkikis. Pangeran Gilgamesh memanglah Archer. Sosok lelaki yang selalu ada di hati Saber. Setelah sekian lama Saber menunggu dan mengabdikan perasaannya terhadap Archer, pada akhirnya lelaki itu datang untuk menepati janjinya. Ia memang datang dengan entitas sebagai Pangeran Gilgamesh. Namun, seperti apapun entitas pria itu...
Ia tetaplah Archer.
Sesosok pria yang sudah merenggut hati dan cinta Saber.
Intuisi seakan menjerit. Saber segera bangkit dari keterpurukannya. Gadis itu berdiri tegap. Emeraldnya terhunus tajam ke arah boneka singa pemberian Gilgamesh. Ia harus segera mencari pria itu sebelum semuanya terlambat.
'Archer sudah berkorban sampai seperti ini demi aku. Ia bahkan masih mencariku setelah sepuluh tahun lamanya?' kedua tangan Saber terkepal erat. Kini, ia paham, bagaimana sakitnya perasaan Gilgamesh saat mendapat penyangkalan yang begitu keras darinya. Saber bahkan dapat mengingat, bagaimana putus asanya pria itu saat menciumnya dengan penuh paksa.
Ia merindukan Saber. Sama halnya dengan Saber yang juga merindukannya.
Dengan penuh determinasi, Saber segera mengambil boneka singa pemberian Gilgamesh dan mendekapnya erat-erat. Meski probabilitasnya kecil, gadis itu yakin bahwa di tempat itulah ia akan bertemu dengan Gilgamesh. Sebuah tempat dimana kedua insan itu pertama kali dipertemukan oleh takdir.
Taman Shibuya.
~GxS~
Tak ada yang berubah di tempat itu.
Tata letaknya masih sama. Hijaunya rerumputan. Hamparan taman dengan taburan bunga-bunga indah yang merekah. Pijaran lampu yang setia menemani serangkaian jalan setapak. Bahkan ayunan-ayunan kecil itu tampaknya tak pernah absen untuk menghibur kumpulan anak kecil yang bermain di sana.
Sama saja.
Sepuluh tahun berlalu dan taman ini tak berubah sama sekali.
Emerald Saber mulai menatap sekelilingnya. Kakinya melangkah statis bersamaan dengan kedua tangannya yang tetap setia mendekap boneka singa pemberian Gilgamesh. Ada perasaan aneh yang hinggap dalam diri gadis pirang itu. Sebuah perasaan campur aduk yang tak ia mengerti maknanya.
Perasaan bersalah? Mungkin saja.
Karena Saber hampir tak pernah menapakkan kaki di tempat itu semenjak Archer pergi dari kehidupannya sepuluh tahun yang lalu. Memang, semenjak kepergian Archer, ia selalu bermain dan menunggu lelaki itu di taman hingga berhari-hari.
Namun, percuma.
Lelaki yang sangat berarti baginya itu tak kunjung datang. Dan menatap panorama taman yang menjadi wadah kenangan mereka berdua hanya membuat Saber sakit hati saja.
Kini, mengetahui bahwa lelaki itu ternyata datang untuk menepati janjinya sungguh membuat Saber merasa begitu bersalah. Karena di saat lelaki itu mencoba untuk mempertahankan perasaannya, Saber justru melakukan hal yang kontradiksi. Ia berusaha untuk melupakan kenangan di antara mereka.
Sungguh tidak adil.
'Archer tak berhak mendapatkan penolakanku. Ia tak berhak mendapat perlakuan tak adil seperti ini. A-Aku sudah menyangkalnya dengan begitu keras. Maafkan aku, Archer... kumohon, maafkan aku.'
Saber hanya dapat tertunduk sembari terus mendekap erat boneka singa pemberian Gilgamesh. Ia tak melihat sosok pria itu sama sekali. Sepertinya sia-sia. Harapan bahwa Gilgamesh akan muncul di taman Shibuya hanyalah sekedar berkas delusi yang terlahir dalam intuisi Saber.
Pria itu tak muncul.
Pria itu tak akan pernah muncul lagi.
Di saat realitas pahit itu tergambar dengan begitu nyata, Saber seolah membeku, tak berdaya. Nalarnya tak tahu lagi harus berbuat seperti apa. Yang bisa ia lakukan adalah berdiri diam di situ. Merasakan sakitnya penantian semu. Sama seperti yang ia lakukan sepuluh tahun lalu.
Menunggu.
Menunggu.
Dan selalu... menunggu.
.
.
"Hei, hei... Nona cantik, apa yang kau lakukan di taman sendirian begini, eh?"
"Ya ampun... lihatlah, Kawan-kawan. Gadis ini benar-benar manis!"
"Sepertinya kita semua bisa bersenang-senang malam ini. Ahahahaha!"
.
.
Tak terasa, hari menjelang malam dan Saber tak menyadari bahwa ada segerombol berandalan yang tengah mengelilinginya.
Gadis itu hanya tertunduk. Boneka singa pemberian Gilgamesh masih tetap setia bertengger dalam dekapannya. Kumpulan lelaki berandalan itu terlihat menyeringai licik, seolah-olah mereka telah menemukan santapan malam mereka. Benar-benar biadab.
Tak ada yang mereka pikirkan selain hanya untuk memuaskan nafsu birahi semata.
"Mimpi apa aku semalam? Kita bisa menemukan gadis semanis ini tepat di taman malam-malam begini?"
"Hai, Manis~ Apa kau merasa kesepian? Kami semua bisa menemanimu~ Ehehehehe!" Salah seorang berandalan hendak menyentuh hamparan pipi Saber, namun sebelum jemari itu sempat menyentuhnya, gadis pirang itu sudah menangkisnya dengan kasar. Kedua emerald memicing tajam. Mereka pikir, mereka itu siapa, hah!
'Hanya Archer yang berhak menyentuhku. Bukan orang lain!'
"Aww... lihatlah. Tanganku ditangkis. Tenanglah, Nona. Kami tak akan menyakitimu jika kau tak melawan. Kami semua hanya ingin memberimu euforia yang tak terbatas. Muahahahaha—"
"Tutup mulutmu! Cepat kalian semua pergi dari sini dan jangan menggangguku!" Saber mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Gerombolan berandalan mesum itu benar-benar membuatnya muak. Di saat ia menanti kehadiran Gilgamesh, mengapa interupsi rendahan seperti ini tiba-tiba menimpanya?
Ia tak punya waktu untuk meladeni kumpulan sampah masyarakat itu.
"Ayolah, Nona. Sebaiknya kau ikut dengan ka—"
BUAAAAKKKK!
"OUCH!" Salah seorang dari berandalan itu tak pernah menyangka bahwa ia akan menerima tendangan yang begitu keras dari Saber. Ia pun tersungkur ke bawah dengan percik darah yang termuntahkan dari mulutnya. Kawan-kawannya yang lain terkejut. Pandangan syok lantas tertuju ke arah gadis pirang itu.
"Hei! Jadi kau suka memakai cara yang kasar, Nona? Kalau begitu, jangan salahkan kami jika kau sampai terluka! Ayo, kawan-kawan! Kita serbu gadis ini dan setelah itu, kita nikmati dia bersama-sama!"
"Hahaha! Bersiaplah, Nona!" Pasukan berandalan itu mulai maju mengepung Saber. Gadis bermata emerald itu semakin geram dan mengepalkan tangannya erat-erat. Saber tak takut dengan apapun. Ia adalah gadis yang sangat kuat dan bahkan sanggup mengimbangi Gilgamesh semenjak kecil. Ia tak akan kalah dalam pertempuran kecil seperti ini.
"Sudah kukatakan pada kalian semua... CEPAT PERGI DAN JANGAN GANGGU AKU!"
DUUUAAAAKKKKK!
"AAAAARRRRRGGGGHHHHH!"
Satu persatu berandalan mulai gugur berkat pukulan yang dilayangkan Saber. Gadis itu bahkan bertarung hanya dengan mengandalkan satu kepalan tangan kanannya saja. Tangan kirinya masih terus mendekap boneka singa pemberian Gilgamesh. Entah mengapa, hanya dengan mendekap boneka itu saja, Saber seolah mendapatkan kekuatan lebih dari sang Pangeran Uruk itu.
Boneka itu begitu hangat.
Cukup untuk menghangatkan hati Saber yang tengah beku akan rasa bersalah.
"Kkkhhkk—aagghh..." suara rintihan sakit telah menjadi alunan musik yang mengisi keheningan taman di malam itu. Dengan tegap, Saber segera melangkahkan kaki meninggalkan kumpulan sampah masyarakat yang tengah terkapar tak berdaya. Ia tak peduli jika para berandalan itu tak sadarkan diri hingga fajar menjelang. Selama nyawa mereka tidak melayang, hal itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan pelajaran bagi mereka.
Namun, sayang. Spekulasi yang tergurat dalam nalar Saber ternyata salah.
Di tengah momen kemenangan itu...
"Da-Dasar gadis sialan! RASAKAN INI!"
Buuaakkk!
"Aaarghh—" Salah seorang berandalan yang masih memiliki tenaga ekstra, dengan gesit mulai berlari dan memukul kepala Saber dari belakang. Hantaman itu membuat Saber syok. Tubuh pun melemah dan gadis itu mulai tersungkur ke bawah, merintih sakit. Benturan itu membuat pandangannya sedikit mengabur. Sungguh brengsek.
Berandalan tengik itu ternyata belum kapok juga.
"Hah! Gadis tengil! Berani-beraninya kau menghajar kami semua. Kurang ajar."
"Kkhhkk—aarrghh!" Saber mengerang sakit saat untaian rambut pirangnya diremas dengan begitu kasar. Berandalan itu terlihat menyeringai licik. Kedua emerald Saber terpejam rapat. Ia sungguh tak dapat berontak karena otot tubuhnya mulai kaku. Sekujur tubuhnya serasa mengejang. Dan ia butuh waktu untuk menetralisir segenap rasa sakit itu agar bisa bangkit kembali.
Tapi tak ada kompromi di pihak musuh.
Berandalan yang meremas rambut Saber lantas tertawa. Dengan kasar, ia terus menarik rambut gadis itu dan mulai menjamah bagian belakang tubuh Saber. Simpulan senyum iblis terkulum di parasnya.
"Bersiaplah untuk euforia, Nona."
.
.
"Apa yang sudah kau lakukan terhadap calon istriku, hah!"
.
.
"A-Apa?" Belum sempat berandalan itu mencari sumber suara yang tertuju padanya, tiba-tiba sebuah tendangan yang begitu keras langsung menghantam parasnya dan membuatnya terpental jauh. Segenap orang yang menatap itu terbelalak. Keadaan berandalan yang terkena tendangan itu benar-benar terlihat mengenaskan.
Lehernya patah. Sekujur tubuhnya mengejang. Darah pun termuntahkan keluar dari mulutnya. Dan berandalan itu hanya bisa menatap dengan pandangan kosong. Segenap kawanan berandalan lain—yang masih terkapar lemah— kini hanya dapat memandang dengan raut horor. Atensi mereka tertuju pada sesosok pria yang sudah melesatkan tendangan mengerikan itu.
Dan kedua emerald Saber juga turut terbelalak saat menyadari siapa figur yang sudah menolongnya.
"A-Ar... cher?"
Ya. Archer.
Lelaki itu sudah ada di hadapannya. Berdiri tegap membelakangi Saber. Untaian rambut emasnya kini tak lagi menjulang tinggi ke atas. Melainkan sebaliknya. Pria itu membiarkan rambut emasnya berguguran ke bawah dengan lurusnya. Penampilan baru itu membuat Saber terhenyak.
Pria itu tak lain dan tak bukan adalah Pangeran Gilgamesh.
Sosok Archer yang selalu ia nanti.
"Jangan pikir kalian semua bisa lolos setelah apa yang kalian lakukan terhadap calon istriku. Ganjaran yang harus diterima oleh kumpulan sampah seperti kalian adalah... MATI!" Ruby memicing tajam. Nada itu begitu dingin. Bahkan terlalu dingin sampai-sampai membuat orang yang mendengarnya gemetar ketakutan.
Marah.
Gilgamesh benar-benar sangat marah. Ia tak terima jika ada orang yang berani menyakiti Saber. Jangankan menyakiti, Pangeran Uruk itu bahkan tak akan segan untuk membakar hidup-hidup orang yang berani menyentuh rambut Saber sehelai pun.
Saber adalah miliknya seorang. Dan tak ada yang boleh merenggut harta berharga itu darinya.
Tanpa basa-basi lebih lanjut lagi, gerombolan berandal mesum itu lantas berusaha bangkit dan mencoba untuk kabur. Namun sia-sia. Gilgamesh tak akan melepaskan mereka semudah itu. Dengan gerakan tak terbaca mata, pria bermata darah itu segera menghajar gerombolan berandalan itu dengan bengisnya. Erangan sakit dan jeritan ampun terdengar nyaring. Bau anyir darah semakin kental.
Saber terbelalak syok.
Ia tak bisa membiarkan Gilgamesh menjadi seorang pembunuh.
"He-Hentikan—Ar... cher."
"Saber?"
Gilgamesh seolah membeku.
Permohonan lirih yang tergurat dari mulut gadis itu membuat nalarnya terhunus dengan kuatnya serangan logika. Ia kembali pada akal sehatnya. Ditatapnya salah seorang berandalan yang tengah babak belur dan sekarat dalam cengkramannya itu. Seingin-inginnya Gil menghancurkan berandalan itu hingga tak bersisa, namun sudahlah.
Ada hal yang jauh lebih penting dibandingkan dengan mengotori tangannya akan sampah masyarakat seperti mereka.
Ia biarkan berandalan itu kabur bersama kawanannya yang lain. Jika Saber terlambat memberi peringatan, mungkin pria berambut emas itu sudah resmi menjadi seorang pembunuh.
Pembunuh...
Ya, benar.
Gilgamesh tak akan segan untuk membunuh jika memang hal itu diperlukan. Ia sudah dikenal sebagai sesosok pangeran yang cukup bengis dan berdarah dingin. Andai saja ia tak pernah bertemu dengan Saber dan juga Enkidu, mungkin... saat ini ia sudah berevolusi menjadi orang paling jahat di dunia. Beruntung, ia memiliki dua orang yang bisa menjadi tumpuan cahaya dalam hidupnya.
Setidaknya, fananya keangkuhan dan martabat seorang pemimpin tidak terlalu membutakan mata hati sang Pangeran Uruk itu.
"Khkk—aarrggh—"
"Sa-Saber!" Erangan sakit dari Saber membuat kedua ruby Gilgamesh membelalak. Dengan cepat, ia segera berlari dan menghampiri gadis yang sangat ia cintai itu. Saber membutuhkan sesuatu untuk bertopang. Bersandarlah ia di dada Gilgamesh, sembari mencoba mengatur napasnya yang terputus.
Gestur khawatir tampak tergurat dalam paras pria berambut keemasan itu. Secara perlahan, ia dekap tubuh Saber dan membenamkan parasnya dalam untaian rambut pirang yang lembut itu.
Seutas senyum tipis tersimpul di mulut Saber.
"Akhirnya... kau datang juga, Archer..."
"Saber..." mendengar nama kecilnya terucap dari mulut Saber membuat Gilgamesh terhenyak. Usahanya tak berakhir sia-sia. Pada akhirnya, gadis itu dapat mengingatnya juga. Kedua mata darahnya melembut.
"Kau mengingatku..."
"Maaf karena aku membutuhkan waktu untuk mengingatmu, Archer. Kau benar-benar sudah berubah sekarang. Aku sungguh tak mengenalimu." Jemari Saber perlahan mulai menyentuh hamparan pipi Gilgamesh. Emeraldnya terus memerhatikan paras tampan lelaki itu. Pangeran Uruk itu seolah gentar. Rasanya begitu menyenangkan mendapat pandangan hangat itu dari Saber.
Sepuluh tahun.
Ya... sepuluh tahun sudah ia hidup dalam kehampaan.
Kini kehangatan itu berada dalam dekapannya kembali.
Bahagia...
Apakah salah jika Gilgamesh merasakan anugerah yang dinamakan... bahagia?
Tidak.
Ia berhak untuk merasakan kebahagiaan setelah segenap perjuangannya selama ini.
Semua ini membuatnya paham bahwa Tuhan akan selalu berlaku adil.
"Aku mencintaimu... Saber." Bersamaan dengan pengakuan itu, dekapan Gilgamesh terhadap Saber pun semakin erat. Yang didekap mulai melingkarkan kedua tangannya di tubuh Gil dan turut memeluk tubuh pria itu dengan cukup lekat.
Untuk sesaat.
Kerinduan itu tercurahkan tanpa adanya tukar kata.
Mereka tak ingin membicarakan apapun.
Resolusi bisa menunggu.
~GxS~
Hari itu begitu cerah. Sinar dari sang lentera matahari sepertinya tak mampu untuk mengimbangi cerianya hati Saber di kala itu.
Rin bahkan terlihat heran. Ia hanya bertopang dagu sembari menautkan kedua alisnya tatkala menatap Saber—yang tengah menyiapkan makanan di dapur dengan penuh semangat. Guratan senyum tak jua luntur dari paras cantik gadis berambut pirang itu. Sungguh tak biasanya.
'Ia selalu bermood ceria saat memakan makanan enak saja. Tapi sekarang? Sepertinya, ia belum memakan apapun...' Rin menggaruk belakang kepalanya pertanda bingung. 'Jika memang makanan bukanlah alasannya, lalu apa?'
"Hei, Saber. Sepertinya kau terlihat senang sekali hari ini. Bolehkah aku tahu alasannya?"
"Eh?" pedang tanya yang diguratkan Rin membuat Saber terbelalak. Gadis itu segera menoleh ke arah sang sahabat dan mengerjapkan emeraldnya. "Terlihat... senang?"
"Ah, apa kau tak menyadarinya? Dari tadi, kau tersenyum sendiri tanpa alasan." Rin melipat tangannya di dada. Saber mulai terkekeh pelan mendengar itu. Ia tak menyangka bahwa kejadian kemarin akan memberikan efek yang cukup signifikan untuknya.
"Aku... bertemu Archer, Rin."
"Apa? A-Archer?" Rin mengerutkan dahinya. Butuh beberapa detik bagi nalarnya untuk mencerna ucapan Saber. Dan kedua matanya pun membelalak saat ia mulai memahami apa yang ia dengar secara harfiah. "M-Maksudmu Archer anak lelaki yang menjadi cinta pertamamu!"
"Um! Benar!" Saber kembali tersenyum. Rin menganga sejadi-jadinya. Ini sungguh sulit dipercaya. Dengan cepat, ia segera menghampiri gadis pirang itu dan mencengkram bahunya dengan erat.
"Bagaimana bisa kau bertemu dengannya? Ayo, ceritakan padaku, Saber!"
"Uhh... bagaimana, ya? Ceritanya panjang." Saber menggaruk ringan hamparan pipinya. "Namun yang jelas, kau juga sudah melihatnya, Rin."
"Apa? A-Aku sudah melihatnya?" Rin semakin bingung. Penjelasan Saber yang setengah-setengah hanya membuat enigma menjulang tinggi. Rasa kurositas semakin bertambah saja dalam diri kakak Sakura itu.
"Ayolah, Saber! Jelaskan semuanya! Aku masih tak mengerti—"
Tittt! Tiittt!
Belum sempat Rin menyelesaikan kalimatnya, bel apartemen Saber pun berdentang menghunuskan pedang intervensi. Kerutan sewot lantas terbentuk di samping kening gadis berkuncir dua itu.
"Graahhh! Siapa yang datang itu! Sungguh menganggu saja!"
"R-Rin, tenanglah—" terlambat. Saber gagal menghentikan Rin yang tengah beranjak menghampiri pintu dengan penuh emosi. Kawannya itu segera membuka pintu dan menyambut sendiri tamu Saber dengan perangainya yang sedikit kasar.
"Sebaiknya cepat katakan apa kepentingan—"
"Maaf, bisakah aku bertemu dengan Saber?"
"Ehh?" Rin tampak terperanjat saat menatap sesosok pria berambut emas yang ada di hadapannya. Pria itu terlihat memakai jaket hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Rambut emasnya yang lurus berponi semakin membuat paras pria itu—yang notabene sudah tampan—menjadi semakin bertambah tampan. Mata rubynya berkilat indah. Guratan senyum tipis yang dilayangkannya cukup mampu untuk membuat hati gadis manapun bergetar.
'Ta-Tampan sekali...' Rin menganga sejadi-jadinya. Ia bahkan mengucek kedua matanya untuk memastikan apakah figur yang ia lihat itu nyata ataukah tidak. Tak mampu berkata-kata untuk sesaat, Saber pun segera menghampiri kawannya itu.
"Ada apa, Rin? Siapa tamu yang ada di lu—"
"Saber!" Belum sempat Saber menyelesaikan ucapannya, tubuhnya pun sudah dipeluk dengan begitu erat oleh sang tamu. Suara tawa yang begitu khas mulai membahana dan Saber pun terhenyak mendengar itu. Karena di dunia ini, hanya ada satu orang yang gemar tertawa dengan intonasi yang begitu arogan.
Siapa lagi jika bukan...
"A-Archer?"
"A-APA? A-ARCHER?" kini giliran Rin yang terlihat syok. Ia tak menyangka bahwa pria berambut keemasan yang kini sedang memeluk Saber adalah Archer. Dan ia pun tak menyangka bahwa cinta pertama sahabatnya itu ternyata setampan ini.
"Ah, Saber~ Akhirnya, aku bisa memelukmu lagi seperti ini. Sungguh menyenangkan! Ahahahahaha!" Pria bermata ruby itu semakin membenamkan parasnya di helai rambut pirang Saber. Dan menghela napaslah yang bisa dilakukan Saber. Meski 'Archer'nya telah kembali, namun tetap saja sifat posesif, egois dan juga sifat kekanak-kanakkan pria itu tidaklah pudar. Namun tak mengapa. Inilah lelaki yang sudah memiliki hatinya.
Dan Saber akan mencintai pemuda itu apa adanya.
"Fuhuhu! Romantis sekali. Setidaknya dia jauh lebih baik dibandingkan Pangeran Uruk gila yang tak jelas itu. Iya 'kan, Saber?"
"E-ehh?" ucapan Rin membuat Saber terbelalak. Dan sang tamu berambut emas yang tengah memeluk Saber kini hanya dapat membatu dengan raut suram. Ya. Rin masih tak mengenali identitas Archer yang sebenarnya. Dan Saber mulai sedikit merasa tak enak dengan kekasihnya itu.
"Ah, R-Rin... se-sebenarnya, Archer adalah—"
"Iya, iya... aku tahu, Saber. Archer adalah lelaki yang sempurna. Kau sungguh beruntung bisa mendapatkannya. Aku jadi iri padamu."
"Tapi, Rin—"
"Well, saranku adalah... berhati-hatilah. Aku yakin banyak gadis di luar sana yang mungkin berpotensi untuk merebut Archer darimu. Tapi jangan khawatir, aku akan mendukung hubungan kalian berdua sampai akhir!" Rin mengacungkan ibu jarinya. Saber hanya dapat menepuk jidat dengan hal itu. Kawannya benar-benar salah paham. Dan figur 'Archer' kini semakin terlihat bertambah suram.
Sungguh nasib.
"EEHH! Bu-bukankah, yang bersama Saber itu Pangeran Gilgamesh!"
"H-HAH?"
Tak terduga sebelumnya, Sakura tiba-tiba hadir di tengah interaksi itu. Gadis itu datang bersama Shiro. Dan sepertinya, hanya ia yang mampu mengenali identitas asli Archer yang sebenarnya.
Rin pun menganga, tak percaya. "Apa katamu? Pa-Pangeran Gilgamesh?"
"Eh? Kenapa kau terkejut, Nee-san? Bukankah sudah jelas, yang memeluk Saber adalah Pangeran Gilgamesh! Sungguh tak kusangka, pada akhirnya Saber menerima cinta Anda, Gilgamesh-sama. Aku ikut senang dengan hubungan kalian." Sakura mulai terkekeh dengan riangnya. Gil terlihat lega mendengar itu. Pada akhirnya, ada orang yang mampu mengenalinya juga. Namun Rin masih tetap bersikeras pada pendiriannya.
"Hahaha! Sakura, kau salah paham! Dia ini bukan Gilgamesh si Pangeran Uruk itu! Dia ini Archer! Cinta pertama sekaligus kekasih Saber! Apa kau tak bisa lihat perbedaannya, hah!"
'Justru kaulah yang tak bisa melihat kemiripannya, Rin...' Saber hanya bisa membatin dengan pasrah. Kawannya itu benar-benar tak ada harapan sama sekali. Kini ia bingung harus memulai dari mana.
"Tapi, Nee-san! Dia memang benar-benar Pangeran Gilga—"
"Aku sudah katakan padamu, Sakura! Dia adalah Archer! A.R.C.H.E.R! Bukan Gil—"
"Yang dikatakan Sakura benar, Rin! Archer adalah Gilgamesh! Pangeran Gilgamesh dari Uruk!"
"A-APA!" Intervensi Saber mengejutkan Rin. Gadis berkuncir itu seolah tak percaya dengan apa yang sudah ia dengar. "A-Apa maksudmu, Saber? A-Archer adalah—"
"Kalian ingin bukti?" dengan sigap, Saber segera mengambil gel rambut dari kamarnya dan lantas kembali berdiri di hadapan Gil. Pangeran Uruk itu terlihat mengerutkan dahinya sebelum pada akhirnya, ia paham akan maksud Saber. Ia biarkan kekasihnya itu mengacak rambut emasnya dengan gel dan membuatnya jabrik kembali. Dan hal itu membuat Rin semakin menganga.
"Sa-Saber, apa yang kau lakukan pada Archer—"
"Aku ingin menunjukkan penampilannya yang dulu. Sekarang lihatlah, Rin! Apakah penampilan Archer kali ini mengingatkanmu pada seseorang?" dan di saat Saber telah berhasil membuat rambut Gil menjadi jabrik kembali, di saat itulah Rin mulai paham dengan kebenaran yang ada. Fakta memang tak dapat disangkal. Gadis itu hanya bisa menganga dengan gestur pucat di parasnya.
"J-Jadi—ka-kau benar-benar... PANGERAN URUK ITU!" Mendengar itu, Gil pun hanya mengguratkan seringai licik khasnya terdahulu. Rasanya sungguh melegakan saat identitasnya mulai terlihat secara gamblang. Ia benar-benar tak habis pikir. Hanya karena perkara rambut, apakah sesulit itu untuk mengenalinya?
"Itu benar, Nona. Aku adalah Gilgamesh, Calon Raja di kota Sumerian, Uruk! Apa kau sudah bisa mengenaliku sekarang? Ahahahaha!"
"T-TIDAK MUNGKIN! INI TIDAK MUNGKIN!" Histeris, Rin pun membenturkan kepalanya di hamparan tembok berkali-kali. Sakura dan Shiro mencoba menenangkan gadis itu. Setelah beberapa saat, barulah Rin bisa tenang dan mulai menerima kenyataan yang ada. Kini, mereka semua berada di dalam ruang tamu apartemen Saber.
"Tak kusangka... ternyata kau adalah Archer..."
"Hah! Tentu saja aku adalah Archer. Tapi Archer hanyalah nama panggilanku semasa kecil. Dan nama panggilan itu hanya kupersembahkan untuk Saber saja. Bukan untuk orang lain." Dengan angkuh, Gil mengguratkan senyum remeh dan menyematkan jemari ke dalam untaian rambut emasnya. Entah mengapa, sepertinya ada aura berkilau yang menyelubungi entitas Pangeran Uruk itu. Sakura terpukau. Kontradiksi dengan Rin dan juga Shiro yang tampak sweatdrop melihat itu.
"Dan seperti janjiku pada Arturia. Setelah aku menjadi pewaris tahta kerajaan Uruk, aku akan mencarinya dan meminangnya untuk menjadi istriku. Dan aku pun kemari dengan identitasku yang sebenarnya. Sebagai Gilgamesh."
"Dan sepertinya, kau bangga sekali, eh? Pangeran Uruk?" Saber menimpali dengan nada sarkas. Dan hal itu membuat Gil beraut terpukul.
"S-Saber-chan? A-Apa kau tak suka melihat diriku yang sebenarnya, hah? Aku bahkan kemari dengan mempertaruhkan namaku sebagai seorang Pangeran!"
"Sejujurnya, aku lebih suka dirimu sebagai Archer daripada dirimu sebagai Gilgamesh seperti sekarang ini."
JEDEEERRRR!
Dan pengakuan itu seolah membuat Gil tersambar akan sengatan petir. Dalam hitungan detik, aura berkilau yang menyelubungi pria berambut emas itupun lenyap dan berganti dengan aura suram. Bahkan rambut Gil yang semula jabrik berkat gel rambut dari Saber kini kembali menjadi layu akibat efek suram.
"Kau kejam sekali, Artur..."
Rin, Shiro dan Sakura kembali sweatdrop melihat itu. Saber hanya tersenyum dan mengguratkan tawa yang begitu ringan. Ia pun lantas melingkarkan kedua tangannya dan mendekap Gil dari belakang. Parasnya cantiknya terlihat merona merah untuk sesaat.
"Namun, seperti apapun dirimu. Entah itu Archer ataupun Gilgamesh, kau tetaplah lelaki yang akan selalu aku cintai..."
"Sa-Saber..." serpihan merah lantas menjalar di paras Gil. Dengan hati berbunga-bunga, ia mulai menghadap Saber dan langsung mendekap erat tubuh mungil gadis yang sangat berharga untuknya itu. Rubynya tampak berkaca-kaca.
"Aku mencintaimu, Artur! Aku sangat sangat sangaaat mencintaimu! Sudahkah aku katakan hal itu padamu?"
"Aaawww... mereka manis sekali!" Sakura tampak terharu. Shiro hanya tersenyum melihat itu. Setidaknya sampai Sakura berkata, "Tak kusangka, Pangeran Gilgamesh saat berbunga-bunga terlihat imut dan manis, ya?"
"WHAT?"
"Ne! Shiro-senpai tak perlu khawatir. Bagiku, Senpai tetaplah yang terbaik! Hihihihi..." frase itu membuat Shiro sedikit lega. Rin hanya tertawa dan menepuk bahu calon adik iparnya itu.
"Hahaha! Tenanglah, Shiro. Sakura adalah tipe orang yang sangat setia. Jagalah adikku baik-baik. Oke!"
"Aku mengerti, Rin." Dan Shiro hanya mengangguk mengiyakan. Ketiganya kembali menaruh atensi ke arah Saber dan juga Gil. Kali ini, duo pirang itu terlihat saling bertatapan satu sama lain. Sang Pangeran Uruk tampak menyodorkan sesuatu.
Kedua emerald Saber membelalak. "G-Gil, apa ini?"
"Sepuluh tahun sudah aku berjuang keras agar aku bisa kembali menemuimu. Perlu kau tahu bahwa tak ada wanita yang kuinginkan di dunia ini selain dirimu. Kini, aku datang kemari untuk mengambil apa yang sudah menjadi milikku. Arturia Pendragon! Maukah kau menjadi istri dan juga ratuku?"
Sebuah kotak merah tampak terbuka, memperlihatkan sebuah cincin berbatu diamond merah. Semerah mata ruby yang dimiliki oleh Gilgamesh. Dan warna merah itu merupakan simbolik atas perasaan cintanya terhadap Saber. Ia benar-benar sangat mencintai gadis bermata emerald itu. Dan figur yang dilamar kini tampak kehabisan kata, tak tahu harus menjawab apa.
Keheningan terjadi.
Rin, Shiro dan Sakura juga turut tenggelam dalam dimensi terkejut. Mereka seolah tak percaya dengan apa yang sudah terjadi di hadapan mereka. Sahabat mereka—Saber—telah dipinang oleh seorang pangeran dan akan menjadi calon ratu di kota Uruk. Semua ini terjadi bagaikan mimpi. Kini, mereka paham, mengapa Saber tampak kehabisan kata untuk menjawab.
Gadis itu pasti merasakan perpaduan rasa yang campur aduk.
"Artur, apa jawabanmu?" Gil kembali menegaskan. Meski paras tampannya itu tampak datar, namun sejatinya, ia sungguh gugup dan takut dari dalam. Ia takut mendapat penolakan Saber. Ia takut jika gadis itu tiba-tiba berubah pikiran dan kembali menyangkalnya lagi. Ia tak akan bisa terima jika hal itu terjadi. Karena ia sudah mempertaruhkan segalanya untuk meraih Saber ke dalam dekapannya lagi.
Ia bahkan sudah memberikan pusara logikanya pada Saber.
Jika gadis itu kembali mencampakkannya lagi, sudah dapat dipastikan bahwa Gilgamesh pasti akan gila.
Setelah membisu untuk beberapa saat, Saber pun memejamkan kedua emeraldnya sembari mempersiapkan diri untuk mengguratkan jawaban. Rin, Shiro dan juga Sakura terlihat tegang dari tempat mereka terduduk. Mereka hanya berharap yang terbaik untuk kawan mereka itu.
Ya. Asalkan Saber bahagia, hal itu sudah lebih dari cukup.
Dengan penuh determinasi, Saber membuka kedua emeraldnya dan mulai mengenggam tangan Gilgamesh. Gadis itu mengguratkan sebuah jawaban yang pasti. Ditatapnya Gil dengan penuh kesungguhan.
"Aku bersedia. Aku bersedia menjadi istri dan juga ratu untukmu, Pangeran Gilgamesh!"
"A-Artur..." kedua ruby Gil membelalak. Perasaan bahagia membasuh hatinya bersamaan dengan simpulan senyum yang tergurat di paras tampannya. Dengan hati berbunga-bunga, segera ia sematkan cincin itu ke jari manis Saber dan ditatapnya gadis yang akan menjadi istrinya itu sekali lagi. Yang ditatap hanya tersenyum dengan serpihan rona merah di parasnya.
Frase tulus pun tergurat.
"Terima kasih. Terima kasih sudah menepati janjimu padaku. Aku mencintaimu... Gil."
Pengakuan itu membuat sang Pangeran Uruk terenyuh. Sebagian raganya seolah meleleh, seolah tak berdaya. Sejatinya, di dunia ini hanya Saber yang mampu meluluhkan hati dan memiliki cinta Gil sepenuhnya. Tak ada yang lain.
Dengan cepat, pria bermata ruby itu segera mengecup kening Saber dan mendekap tubuh mungil gadis itu seerat mungkin.
Rin dan yang lainnya turut senang menatap panorama hangat nan bahagia itu.
Optimis.
Ya, mereka optimis bahwa kedua insan itu akan hidup berbahagia nantinya. Sebagai sahabat, mereka hanya bisa mendoakan yang terbaik. Turut memberi dukungan secara totalitas. Dan mereka yakin bahwa kedua insan itu akan selalu bersatu hingga akhir.
Karena rantai takdir sudah mengikat keduanya dalam satu ikatan cinta yang absolut.
.
.
.
"Aku mencintaimu, Artur."
.
.
"Dan aku juga sangat mencintaimu... Gil."
.
.
.
"Paman Enkiduuuu! Ayo, bermain denganku!"
"Hah! Lebih baik Paman Enkidu bermain denganku saja!"
"Hei, kau sudah bermain dengan Paman Enkidu selama 3 jam! Kini giliranku!"
"Tidak! Sekarang adalah giliranku! Kalian semua selalu saja meninggalkanku! Huff!"
Beberapa tahun berlalu.
Enkidu tampak tersenyum dengan panorama anak-anak kecil yang tengah berdebat memperebutkannya. Anak-anak kecil itu memiliki rambut pirang keemasan dan juga memiliki mata berwarna ruby dan emerald. Sama seperti mata kedua orang tua mereka. Dan mereka semua bersaudara. Enkidu menggelengkan kepalanya dengan perasaan takjub.
'Gil... Gil. Mau berapa anak lagi yang akan kau produksi bersama Ratu Artur, eh? Ini sudah ke tujuh kalinya Ratu Arturia mengandung.'
Enkidu hanya terkekeh kecil sembari menatap sebuah potrait yang menggambarkan kedua insan raja dan ratu itu di dinding istana. Ya. Waktu telah berlalu semenjak kawannya resmi menikah dengan gadis pilihannya itu. Dan kini, keduanya pun menjadi pemimpin yang mampu membawa kota Uruk menjadi sebuah kota yang begitu termahsyur dan sejahtera. Keduanya merupakan kombinasi raja dan ratu yang sangat mengagumkan.
Sementara kedua insan pemimpin itu sibuk dengan segenap urusan kota dan negara, Enkidu hanya bisa membantu dengan menjaga anak-anak mereka. Setidaknya, dengan hadirnya anak-anak yang lucu dan imut itu, Enkidu bisa mengikis kebosanannya saat berada di dalam istana. Memang merepotkan, namun menjaga kumpulan anak-anak itu nyatanya mampu membuat Enkidu bahagia.
Mereka begitu polos dan lugu.
Sama seperti dirinya.
"Sudah, sebaiknya kalian semua jangan bertengkar. Lebih baik, kita semua bermain bersama-sama! Bagaimana? Paman memiliki satu permainan yang menarik."
"Permainan menarik? Apa itu, Paman?" tanya sesosok anak laki-laki bermata ruby dengan paras yang mirip dengan Saber. Enkidu kembali menyimpulkan senyum.
"Permainan itu adalah permainan Holy Grail! Harus ada yang menjadi Master dan Servant. Dan bagi yang ingin menjadi Servant, kalian harus memilih salah satu Heroic Spirit dari legenda raja terdahulu yang bisa kalian tirukan."
"Heroic Spirit? Kalau begitu, aku ingin menjadi Gilgamesh seperti ayah!"
"Aku ingin menjadi Artur seperti ibu!"
"Aku juga ingin menjadi raja seperti ayah!"
"Aku mau! Aku mau seperti ibu!"
Dan dengan itu, keceriaan akan selalu terpancar dalam diri seluruh keturunan Raja Gilgamesh dan juga Ratu Arturia. Darah pemimpin telah mengalir dalam tubuh mereka semua. Dan Enkidu akan selalu senantiasa menjaga mereka semua hingga mereka mampu meneruskan tahta kedua orang tua mereka.
Sampai saat itu tiba...
"Pimpinlah selalu Uruk dengan baik Raja Gil dan Ratu Artur. Kalian adalah legenda baru di mata dunia ini."
FIN
A/N: Part 2 end

0 komentar:
Post a Comment